KONTAN.CO.ID
-JAKARTA. Holding Pariwisata yang bakal dibentuk
oleh Kementerian BUMN menyisakan tanda tanya. Pasalnya ada dua perusahaan di
bawahnya yang merugi cukup besar. Hal ini bisa saja membawa beban dari holding
tersebut, apalagi memang sektor pariwisata ini sedang terpuruk karena Covid-19.
Perusahaan
yang merugi adalah, pertama PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), maskapai
penerbangan badan usaha milik negara (BUMN) PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) harus
menanggung kerugian yang besar hingga kuartal III 2020. Tak tanggung-tanggung,
kerugian Garuda Indonesia mencapai Rp 15 triliun.
Kerugian
Garuda Indonesia karena hanya memperoleh pendapatan sebesar US$ 1,14 miliar
hingga kuartal III-2020. Capaian tersebut amblas 67,79% dari periode yang sama
tahun sebelumnya senilai US$ 3,54 miliar.
Berdasar
laporan keuangan yang dirilis Kamis (5/11), Garuda Indonesia mencatat pendapatan dari
penerbangan berjadwal senilai US$ 917,29 juta, penerbangan tak berjadwal
sebesar US$ 46,92 juta, dan pendapatan lain-lain berkontribusi US$ 174,56 juta.
Di
tengah menyusutnya pendapatan, Garuda Indonesia juga harus menanggung beban
usaha senilai US$ 2,44 miliar atau 25,61% lebih kecil dari periode yang sama
2019.
Garuda
Indonesia memperoleh keuntungan selisih kurs senilai US$ 83,35 juta, padahal
pada kuartal III-2019 GIAA mencatat rugi kurs US$13,91 juta. Di saat yang sama
pendapatan keuangan tercatat US$ 43,89 miliar meningkat dari periode yang sama
tahun lalu US$ 4,98 juta.
Dengan
demikian, Garuda Indonesia membukukan rugi periode berjalan yang dapat
diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$ 1,07 miliar. Dengan kurs
rupiah hari ini Rp 14.321 di data JISDOR Bank Indonesia, kerugian tersebut
setara dengan Rp 15,32 triliun. Kondisi ini berbeda dari kuartal III tahun lalu
yang masih mendulang laba bersih US$ 122,42 juta.
Per
September 2020, asset GIAA melonjak 122,47% jadi US$ 9,90 miliar dari posisi
asset pada akhir tahun lalu sebesar US$ 4.45 miliar.
Manajemen
GIAA menjelaskan, perubahan aset sehubungan dengan implementasi PSAK 73 yaitu
penambahan Aset Hak Guna Usaha Pesawat, Perlengkapan dan Peralatan, Perangkat
Keras, Kendaraan, Tanah dan Bangunan dan Prasarana.
Kemudian,
Sarinah. Importir minuman alkohol ini juga memprediksi kinerja keuangan tahun
ini akan mencatatkan kerugian sebesar Rp 29,92 miliar. Nilai tersebut naik
signifikan dari kerugian tahun lalu sebesar Rp 4,69 miliar.
Direktur Utama Sarinah Fetty Kwartati memaparkan akibat
pandemi Covid-19 industri ritel telah terkena dampaknya sebesar 75%-90%.
"Sarinah tidak terkecuali, bahkan dampaknya double dari Covid-19 dan
pemugaran," ujarnya dalam rapat bersama Komisi VI di Jakarta, Senin
(28/9).
Akibat
renovasi tersebut seluruh toko ritel di dalam Gedung Sarinah harus tutup selama
setahun mempersiapkan pemugaran dan transformasi. Akibat hal tersebut, ia
memprediksi akan mencatatkan kerugian sebesar Rp 29,92 miliar. Sementara itu,
untuk pendapatan hingga tutup tahun diproyeksikan sebesar Rp 637,92 miliar.
Namun,
ia optimis kerugian tersebut akan ditutupi pada tahun 2021. Terlebih peritel
sudah bisa membuka kembali tokonya pada Agustus 2021. "Dengan bukanya toko
kembali sehingga diharapkan bisa mencatatkan hasil positif, walaupun masih
kecil," sebutnya.
Dalam
pemaparannya, laba pada 2021 diproyeksikan sebesar Rp 3,77 miliar dengan
pendapatan sebesar Rp 1,11 triliun.
Di
samping itu, dalam hal opex (operational expenditure) perseroan juga terus
melakukan efisiensi mulai dari sumber daya manusia, promosi, dan juga biaya
lainnya. Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan menjelang transformasi di
tahun depan.
"Jadi
secara opex per sales, kami akan berusaha menurunkan dari 48,1% menjadi 22,1%
di tahun ini dan di tahun depan menjadi 19,5%," paparnya.
Guna
menyelesaikan renovasi Gedung Sarinah, Fetty memaparkan kebutuhan belanja modal
atawa capital expenditure (capex) untuk membuat fitting out di Gedung Sarinah
dan konsep bisnis seperti F&B, trading house, dan duty free. Sehingga tahun
ini dan tahun depan tetap akan ada pengeluaran capex.
Pada
tahun ini, Sarinah menganggarkan capex sebesar Rp 30,29 miliar. Sementara itu,
kebutuhan capex di tahun depan sebesar Rp 125,44 miliar. "Itu juga sudah
kami masukan ke dalam RKAP," pungkasnya.
Sumber : Kontan, 08.11.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar