KOMPAS.com — Bagi saya, nempel terusnya khaos ke dalam “menu” keseharian kita adalah satu karakteristik yang menggambarkan kerasnya bisnis lanskap di dunia New Wave ini. Masih ingat tahun lalu ketika harga minyak menyentuh angka 100 dollar AS per barrel?
Buat banyak orang, itu merupakan batas psikologis yang sangat mencekam, terutama untuk kalangan bisnis.
Saya masih ingat ketika itu kita baru saja masuk ke tahun baru 2008. Berselang tujuh bulan setelah itu, harga minyak sempat naik sampai 147 dollar AS per barrel pada tanggal 11 Juli 2008 gara-gara uji coba misil Iran.
Tepat sebulan kemudian, minyak turun lagi sampai angka 112 dollar AS per barrel. Licinnya minyak dengan harganya yang terus naik turun drastis ibarat roller coaster di tahun lalu membuat menteri keuangan dan gubernur bank sentral di seluruh dunia kebingungan.
Kenapa? Karena mereka tidak tahu harus bagaimana. Kini kita memasuki era yang disebut Alan Greenspan, mantan Kepala Bank Sentral Amerika, sebagai “the age of turbulence”.
Coba saja lihat bagaimana GM atau Ford yang begitu perkasa dan menjadi langganan singgasana Fortune 500 kini tak berdaya minta pertolongan pemerintah agar tidak jatuh ke jurang kebangkrutan.
Surat kabar dan perusahaan-perusahaan iklan besar tiba-tiba berguguran ketika perusahaan-perusahaan mulai mengalihkan anggaran iklannya dari media massa koran dan televisi 30 detik ke media-media baru online, seperti blog, e-mail, situs-situs web, podcast, dan sebagainya.
Bahkan, negara maju sekuat Islandia (Iceland) tiba-tiba saja “bangkrut” karena tak mampu menalangi kebangkrutan yang dialami bank-banknya yang serempak berguguran menyusul terjadinya krisis global tahun lalu.
Mengenai turbulensi lingkungan bisnis global ini, menarik sekali jawaban Gary Becker, salah satu ekonom kesohor Amerika Serikat pemenang Nobel, pada Oktober 2008 lalu ketika ditanya mengenai seberapa parah dan lama krisis ekonomi yang kita hadapi kini.
Jawaban sang ekonom pendek saja, “Nobody knows, I certainly don’t know”. Pesannya: “Don’t trust economists who say they know”.
Karena kenyataan seperti ini, maha guru pemasaran, Philip Kotler, dalam buku terbarunya, Chaotic: The Business of Managing and Marketing in the Age of Turbulence (fortcoming, 2009, ditulis bersama John A Caslione) menyebutkan bahwa kini kita telah memasuki era “khaos” bahwa turbulensi lingkungan baru sudah menjelma menjadi kenormalan baru (turbulence is the new normality).
Sesungguhnya, Kotler bukanlah pakar pertama yang mengendus datangnya era ini. Peter Drucker di tahun 1990-an sudah memprediksikan datangnya era diskontinuitas melalui buku legendarisnya, The Age of Discontinuity.
Pendiri Intel, Andy Grove, dalam buku larisnya, Only The Paranoid Survive, menyebut datangnya era ini sebagai munculnya apa yang ia sebut “inflection point”, yaitu ketika industri berubah 180 derajat menuju keseimbangan baru.
Atau Clayton Christensen yang mengintroduksi munculnya “disruptive technologies” yang memicu tsunami lingkungan industri dan perekonomian secara keseluruhan.
New normality
Dengan adanya perkembangan baru ini, Kotler menyimpulkan bahwa saat ini kita memasuki sebuah era baru yang tak akan bakal balik lagi (irreversible), yang menunjukkan bahwa risiko bisnis menjadi kian besar dan ketidakmenentuan menjadi “menu” harian yang tak bisa dielakkan oleh setiap pelaku bisnis.
Dalam bahasa Kotler, dunia bisnis kini memasuki era ketika kita memasuki keseimbangan baru dengan “normalitas baru”(new normality) bahwa normalitas tersebut bukannya ditandai stabilitas dan certainty seperti terdapat pada era-era sebelumnya, tapi terbentuk dari ketidakmenentuan, diskontinuitas, dan khaos.
Normalitas baru tersebut mewujud dalam bentuk kombinasi antara perekonomian yang boom, turun (downturn), resesi, bahkan depresi dalam siklus yang kian-kian cepat.
Normalitas baru yang mewujud dalam bentuk khaos itu tentu saja siap setiap saat memakan korbannya. Formatnya bisa di tingkat perekonomian dengan korban seperti negara sebesar Amerika atau negara sekecil Islandia.
Di tingkat industri, yang jadi korban adalah industri media konvensional (televisi dan surat kabar) dan industri periklanan yang ditinggal para pengiklan yang masuk media baru online, atau di tingkat perusahaan seperti GM dan Ford yang diterpa gelombang tsunami krisis global.
Dalam normalitas baru tersebut, perekonomian dunia menjadi semakin terkoneksi dan terindependensi satu sama lain. Tak ada satu pun negara di tiap jengkal dunia ini yang bisa luput dari gelombang khaos global, semuanya akan disapu habis tanpa ampun dan tanpa melihat besar kecil negara yang bersangkutan.
Kata Kotler, teknologi dan globalisasi yang menjadi forces of change utama telah menghasilkan apa yang disebutnya “interlocking fragility” dengan level yang tak terbayangkan dalam sejarah umat manusia.
Dalam kondisi rapuh tersebut, bencana di suatu negara akan dengan cepat berimbas dan menyebar ke negara lain, secepat virus flu babi.
Dengan kenyataan baru ini maka para pelaku bisnis akan semakin sulit memprediksikan, apalagi menghitung risiko dan ketidakmenentuan yang terjadi dalam lingkungan bisnis. Dalam situasi krisis seperti sekarang, harus diingat bahwa chaos is the new normality.
Tidak ada yang bisa dipegang. Pembuatan keputusan semakin sulit karena informasi baik yang berdasarkan fakta atau sekadar gosip terus berkembang dan mengalir, diteruskan oleh orang-orang lewat berbagai macam konektor, baik itu di dunia offline maupun online.
Bagaimana pendapat Anda?
Oleh : Hermawan Kartajaya (HK).
Sumber : Kompas, 29.08.09.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar