KOMPAS.com - Dari dulu kita memiliki kecenderungan untuk mendengar apa yang kita dengar, membicarakan apa yang kita dengar, dan melihat apa yang kita lihat.
Di era New Wave ini, dengan segala media baru yang berkembang, wawasan kita dalam mendengar, berbicara, dan melihat menjadi semakin luas.
Dengan adanya handphone, aplikasi internet seperti Blog, Facebook, Twitter, dan lain sebagainya, informasi baik itu yang berdasarkan fakta maupun gosip terus diteruskan oleh orang lewat jejaringnya.
Celakanya adalah apabila informasi yang disalurkan tersebut membuat kita semua jadi ragu untuk mengambil keputusan. Seperti yang ditulis dalam kolom ini kemarin, ‘kekacauan’ dalam lingkungan kita sehari-hari sudah menjadi normalitas.
Di dalam konteks ekonomi contohnya, normalitas baru tersebut mewujud dalam bentuk kombinasi antara perekonomian yang boom, turun, resesi, bahkan depresi dalam siklus yang kian-kian cepat.
Normalitas baru yang mewujud dalam bentuk chaos itu tentu saja siap setiap saat memakan korbannya. Di Amerika, kekacauan akibat krisis ekonomi seperti saat ini membuat banyak orang semakin kreatif.
Semakin banyak orang di sana yang mempleseti nama-nama dari brand tersohor, sesuai dengan era krisis. Contohnya Dowjones menjadi Downjones. Slogan life’s good dari perusahaan elektronik LG dipleseti menjadi life’s tough. Perusahaan mobil Chrysler menjadi Crisisler.
Merek ban Goodyear menjadi Badyear. Perusahaan Sony yang terkenal dengan slogannya “Like No Others” menjadi Sorry: Broke Like Others.
Philip Kotler dan John A. Caslione, dalam buku mereka, “Chaotic: The Business of Managing and Marketing in the Age of Turbulence” untuk menyiasati era turbulens ini diperlukan sebuah sistem yang kuat dalam mengelola kekacauan tersebut.
Itu yang disebut oleh kedua penulis sebagai Chaotics Management. Chaotics Management merupakan suatu pendekatan sistematis dalam mendeteksi, menganalisis, dan merespon kondisi turbulensi dan chaos yang terjadi.
Secara umum, "Chaotics Management" ini terdiri atas tiga komponen utama, yaitu: Pertama, mendeteksi sumber turbulensi.
Terdapat sumber turbulensi yang dapat dideteksi oleh perusahaan (detectable turbulence) maupun yang tidak dapat dideteksi oleh perusahaan (undetectable turbulence).
Terhadap sumber turbulensi yang dapat dideteksi oleh perusahaan (detectable turbulence), maka perusahaan perlu membangun suatu early warning system untuk mendeteksi sebanyak dan secepat mungkin turbulensi yang akan terjadi untuk meminimalisir risiko maupun menangkap peluang secara optimal.
Sedangkan sumber turbulensi yang tidak dapat dideteksi oleh perusahaan akan menciptakan chaos bagi perusahaan.
Kedua, merespon chaos dengan membuat sejumlah skenario utama. Skenario utama ini sebagai sebuah perencanaan stratejik yang digunakan untuk membuat perencanaan jangka panjang.
Seorang pemimpin harus mampu mendorong anak buahnya untuk dapat menginvestigasi dan menganalisis secara lebih mendalam berbagai skenario terburuk sekalipun.
Skenario yang dibangun secara efektif akan dapat memberikan gambaran terhadap kondisi yang terjadi. Masing-masing skenario membutuhkan respon strategi yang berbeda.
Ketiga, memilih strategi berdasarkan prioritas skenario dan sikap dalam menghadapi risiko (risk attitude). Berdasarkan berbagai skenario yang telah disusun, seorang pemimpin perlu memilih respon strategi yang tepat dalam menghadapi skenario tersebut.
Dengan adanya ketidakpastian, maka berbagai skenario beserta respon strategi yang ada perlu disikapi secara seksama termasuk berbagai kemungkinan respon yang mungkin berbeda disesuaikan dengan prioritas dan kondisi yang terjadi serta pertimbangan mengenai risk and opportunity yang dikehendaki.
Perusahaan yang hidup di dalam era turbulensi ini harus siap menghadapi gejolak tersebut. Karena pada dasarnya dalam kondisi lingkungan seturbulens apapun, selalu menyisakan peluang.
Namun itu semua tergantung seberapa lihai kita dalam melakukan analisa mendalam terhadap tinjauan lanskap bisnis. Di sini yang menjadi sangat diperlukan adalah kemampuan kita mengubah noise menjadi data, informasi, knowledge, dan akhirnya wisdom.
Pada akhirnya yang menjadi fundamental di dalam era turbulens ini adalah insting kita sendiri. Bagaimana pendapat Anda?
Oleh : Hermawan Kartajaya
Sumber : Kompas, 30.08.09.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar