Krisis di Eropa belum
menunjukkan tanda-tanda berakhir. Para investor global, melalui jalur moneter,
pasar keuangan, banyak yang menarik dana mereka dari negara yang pasarnya
sedang berkembang — termasuk Indonesia.
Akibat krisis pula, ekspor
Indonesia ke pasar besar seperti Amerika Serikat, Cina, dan Eropa bakal lesu.
Sebabnya, mereka tentu ingin mempertahankan produksi domestik mereka untuk
pasar sendiri, sehingga harus menahan laju barang dari luar negeri.
Lalu apa yang terjadi dengan
Indonesia?
Dengan 240 juta penduduk dan
perekonomian yang ditopang konsumsi, Indonesia bisa menjadi sasaran empuk bagi
produk-produk luar negeri yang mencari pasar. Pada kasus perjanjian perdagangan
bebas dengan sejumlah negara saja, sudah terbukti banyak produk Indonesia yang
kalah bersaing.
Inilah beberapa barang impor
yang bakal terus merangsek ke pasar domestik:
Elektronika
Sejak Januari sampai
September, nilai impor barang elektronika sudah mencapai sekitar Rp 25 triliun.
Naik 10,49 persen dari periode yang sama tahun lalu. Menurut data Kementerian
Perindustrian, impor produk elektronika didominasi televisi, AC, mesin cuci,
lemari es, telepon seluler, dan komputer. Televisi memberikan kontribusi
terbesar.
Pakaian jadi
Jika kita masih menyaksikan
pasar besar seperti Tanah Abang atau Cipulir menggeliat, ternyata itu semua
ditopang barang impor. Pangsa pasar produk dalam negeri hanya tersisa 40
persen. Semester pertama tahun ini, berdasarkan data Asosiasi Pengusaha
Indonesia, impor pakaian jadi mencapai $ 80,52 juta.
Pemain terbesarnya adalah
Cina, yang meraup $ 26,23 juta atau sekitar 33 persen pangsa pasar. Sementara
itu, Hongkong mendapat $ 11,94 juta.
Mainan anak
Data Asosiasi Pengusaha
Indonesia menunjukkan, sepanjang semester satu tahun ini impor mainan anak
mencapai $ 38,26 juta (naik 39,52 persen). Pemain utamanya adalah Cina, dengan
porsi 71,14 persen.
Kebanyakan mainan berharga
murah itu membanjiri pasar Mangga Dua, Asemka, atau Prumpung. Belakangan, sudah
masuk ke kampung-kampung. Sedangkan mainan mahal dari Amerika misalnya, masuk
ke toko modern.
Makanan-minuman
Berdasarkan data yang
dikeluarkan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, impor makanan dan
minuman tahun ini untuk periode Januari-Mei naik sekitar 17 persen dibandingkan
periode sama tahun lalu. Nilainya mencapai $ 89,56 juta.
Negara di kawasan Asia
Tenggara yang menjadi paling banyak memanfaatkan pasar Indonesia adalah
Malaysia, yang mencapai $ 20,6 juta. Selanjutnya ada Thailand.
Garmen
Sepanjang Januari-Oktober
2011, impor garmen mencapai $ 136,6 juta. Uniknya, menurut penjelasan Asosiasi
Pertekstilan Indonesia, impor dari China mencapai $ 200 juta. Perbedaan angka
ini memperlihatkan masih banyaknya penyelundupan.
Sementara untuk seluruh
impor tekstil dan produk tekstil asal Cina, sepanjang enam bulan pertama tahun
ini nilainya sudah mencapai $ 1,73 miliar. Sedangkan kemampuan Indonesia
mengekspor ke negara tersebut hanya $ 213 juta. Bahkan pasar bantal, kemeja,
gorden, seprai, sudah dikuasai asing.
Telekomunikasi
Kementerian Perindustrian
merilis sejumlah impor bahan baku yang perlu diwaspadai lantaran jumlah dan
nilainya terus meningkat. Di dalamnya ada alat telekomunikasi dan suku cadang.
Periode Januari-April tahun ini nilainya mencapai $ 0,84 miliar atau naik
757,06 persen dibandingkan tahun lalu.
Kondisi ini dijadikan alasan
untuk memberikan pembebasan pajak pada waktu tertentu bagi sektor
telekomunikasi. Harapannya, investor asing mau membuka pabrik di sini.
Alas kaki
Data Kementerian Perdagangan
mencatat, selama periode Januari hingga Maret 2011, impor alas kaki mencapai $
42,12 juta atau naik 43,47 persen jika dibandingkan tahun lalu. Produk domestik
sudah berbagi pangsa pasar separuh-separuh.
Pengimpor terbesarnya adalah
Cina, yang masuk ke pasar menengah ke bawah. Segmen itulah yang terbesar di
Indonesia.
Masuknya barang-barang impor
ini akan makin deras, seiring lesunya pasar di kawasan Eropa. Bagi Indonesia
pilihannya jelas. Jika pemerintah membiarkan, produksi dalam negeri bakal
tersingkir dan tenaga kerja terancam. Atau, pemerintah membatasinya dengan
berbagai cara yang legal, seperti memberlakukan hambatan non-tarif yang makin
ketat.
Herry Gunawan jadi wartawan
pada 1993 hingga awal 2008. Sempat jadi konsultan untuk kajian risiko berbisnis
di Indonesia, kini kegiatannya riset, sekolah, serta menulis.
Sumber : Newsroom Blog, 29.11.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar