JAKARTA: Penurunan kinerja
industri manufaktur China bisa mendorong arus barang murah dari negara tersebut
ke negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia.
Survei Purchasing Manager
Index (PMI) HSBC di China menyatakan indeks kinerja industri manufaktur di
negara tersebut mencapai level 47,7 pada November 2011 atau yang terendah sejak
Maret 2009.
PMI adalah indeks yang
merangkum tingkat persediaan (inventory), produksi, pesanan dari konsumen,
kecepatan pemenuhan pasokan dan penyerapan tenaga kerja sektor industri dari
suatu negara.
Angka 50 atau lebih besar
menunjukkan industri manufaktur sebuah negara tumbuh, sebaliknya angka di bawah
50 menunjukkan penciutan produksi industri.
Penelitian lain dari
Federasi Logistik dan Pembelian China menyatakan PMI industri manufaktur
negara tersebut turun ke level 49 pada November.
Penurunan kinerja industri
pada November, menurut kedua survei tersebut, terutama dipacu oleh penurunan
pesanan ekspor dan produksi industri di negara berpenduduk terbanyak itu.
Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan penurunan kinerja
industri di China mendorong perusahaan di negara tersebut mengalihkan tujuan
pasarnya ke Indonesia.
Penciutan pasar di AS dan
Eropa, jelasnya, menyebabkan industri di negara tersebut kelebihan supply
hingga terpaksa menjual produk dengan harga murah.
“Ini bisa mengancam pasar
domestik Indonesia, apalagi dengan daya saing industri yang tidak kunjung
membaik,” kata Sofjan ketika dihubungi bisnis, hari ini.
Data PMI HSBC menunjukkan
indeks harga bahan baku dan produk jadi di China turun masing-masing turun
drastis dari 53,2 dan 52,0 pada Oktober menjadi 42,0 dan 43,3 pada November.
Indeks harga bahan baku
rata-rata di negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir adalah 59,8,
sedangkan rata-rata indeks harga produk jadi mencapai 53,3.
Sofjan menambahkan penurunan
produksi industri manufaktur China juga akan menekan volume dan nilai ekspor
komoditas Indonesia ke negara tersebut.
Pemerintah, tegasnya, harus
mempercepat peningkatan nilai tambah industri dalam negeri agar tidak
bergantung pada ekspor bahan mentah ke China.
“Semua, pengusaha dan
pemerintah, harus berkoordinasi merencanakan antisipasi serta kebijakan untuk
mengurangi dampak krisis global tahun depan,” kata Sofjan.
Ketua Umum Asosiasi
Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan anjloknya harga produk dari
China akan membuat impor tekstil dan produk tekstil Indonesia dari negara tersebut
melonjak.
Harga yang lebih murah,
menurut dia, bisa menekan selisih surplus neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil Indonesia atas
China turun sekitar Rp1 miliar.
Sekjen Asosiasi Industri
Aromatik, Olefin dan Plastik Fajar Budiyono mengungkapkan harga resin plastik
terus turun akibat permintaan yang lemah dari China.
Dirjen Kerjasama Industri
Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahjana mengatakan lonjakan impor
dari China bisa menekan pertumbuhan industri pada tahun depan.
“Kita memang harus hati-hati
dengan arus barang dari sana karena industri di China oversupply, pasar
domestik harus dilindungi,” katanya.
Dia mengharapkan instansi
terkait, khususnya Kementerian Perdagangan, memperketat perlindungan pasar
domestik pada barang impor.
“Kalau bisa produk tertentu
yang hanya bisa diimpor dari beberapa pelabuhan, jumlahnya ditambah,” kata
Agus.
Dia mengatakan daya saing
industri dalam negeri harus ditingkatkan atau paling tidak dijaga untuk
mengantisipasi dampak krisis perekonomian global.
Pemerintah, tegas Agus, akan
berusaha menjaga kestabilan pasokan dan harga berbagai faktor produksi seperti
bahan baku, tenaga kerja dan tingkat suku bunga. (Bsi)
Sumber : Bisnis Indonesia,
09.12.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar