Di masyarakat kontemporer, kodrat waktu telah berubah selama bertahun-tahun. Hingga awal abad ke 20, seperti halnya Aristoteles dan Newton orang-orang yakin bahwa waktu itu mutlak.
Teori relativitas Einstein menyudahi gagasan yang menyatakan waktu itu mutlak. Waktu merupakan suatu konsep yang lebih pribadi, relatif terhadap pengamat yang mengukurnya.
Bukan cuma orang per orang, suatu negara bahkan bebas mengatur kembali zona waktunya, sebuah ranah strategis yang dulu dianggap garis nasib yang tak bisa diubah.
Batas-batas geografis tak lagi digubris sebagai faktor penentu zona waktu. GMT yang diperkenalkan sejak 1675 di pinggiran kota London, tak lebih dari sekadar monumen standar waktu Greenwich untuk konsumsi para turis lanjut usia.
Dan seiring abad baru yang menyingsing, globalisasi telah melupakan nama Sir Standford Fleming (1827-1915), seorang Kanada yang merumuskan pembagian zona waktu dunia pada 1878.
Berdasarkan fakta astronomis bahwa bumi menyelesaikan rotasinya setiap 24 jam, bagai membelah jeruk Fleming membagi 360 derajat bola dunia menjadi 24 zona waktu.
Itu berarti, setiap wilayah selebar bujur 15 derajat sama dengan satu jam. Dengan asumsi bahwa Greenwich berada di garis bujur 0 derajat, belahan dunia di sebelah barat memiliki zona waktu –1 sampai –12.
Sedangkan belahan dunia di sebelah timur memiliki zona waktu +1 sampai +12. Pembagian zona waktu memungkinkan posisi matahari pada pukul 12 siang di suatu wilayah terlihat tidak jauh dari titik puncak (zenith).
Zona waktu Fleming berhasil mengompromikan waktu matahari berbagai negeri (waktu setempat) yang dulu membingungkan para pelancong, pengelola kereta api transnasional, dan pelaut.
Mengikuti aturan Fleming, Rusia yang selebar 165 derajat memiliki paling banyak, yaitu 11 zona waktu, mencakup Kaliningrad di Laut Baltik. Amerika Serikat terbagi dalam sembilan zona waktu; enam di negara bagian dan tiga di teritori lainnya. Kanada punya enam.
Di belahan bumi lain, sejumlah negara sengaja mengesampingkan aturan. Republik Rakyat Cina selebar 65 derajat yang semestinya terbagi dalam lima zona waktu, mengadopsi satu (single time, GMT+8); menyesuaikan New York, Chicago, Denver, dan Los Angeles (GMT-8). India merupakan negara besar kedua yang menganut satu zona waktu (GMT+5:30).
Penerapan satu zona waktu di China menciptakan “keajaiban dunia” kedua setelah Tembok China. Di ujung barat China, matahari di atas kepala akan terlihat pada pukul 15:00 dan pukul 11:00 di ujung timur.
Perbedaan ekstrem terasa ketika berada di perbatasan China dan Afganistan. Dalam jarak hanya 76 km, kedua negara tersebut berselisih waktu tiga jam 30 menit! Sepanjang tahun 1912-1949, Xinjiang dan Tibet memilih GMT+6.
Menyusul Partai Komunis China berkuasa sejak 1949, pemerintah mengubahnya menjadi GMT+8. Kalau kebetulan berbisnis di Xinjiang atau berlibur di Tibet, biasakan melihat warga setempat melakukan urusan mereka dua jam lebih telat dari biasanya. Makan siang mulai pukul 14:00, jam pulang kerja pukul 19:00.
Demi uang, kota-kota bisnis seperti Kunming, Chengdu dan Chongqing rela “berbohong” dengan menyatakan mereka berada di GMT+8 (semestinya +7) agar sama dengan Hong Kong.
Secara geografis, Seoul di Korea Selatan berada di zona +8. Ketika Jepang menganeksasi Semenanjung Korea pada 1910, zona waktu Seoul bergeser ke +9 atau sama dengan Tokyo hingga sekarang.
Ketidakwajaran zona waktu China justru mengilhami ketidakwajaran baru. Melalui Perserikatan Bangsa-bangsa, pada 20 Mei 2003 Presiden George Walker Bush telah mengajukan proposal penyatuan zona waktu dunia yang disebut Single Universal Time Zone.
Di Asia Tenggara, kelompok negara berbendera Association of South East Nations (ASEAN), sejak Desember 1995 bahkan terlebih dahulu terobsesi menyatukan zona waktu seluruh ibu kota negara anggota yang disebut Asean Common Time (ACT).
Sembilan bulan berselang, sidang kelompok kerja Asean bertemu di Jakarta dengan tidak menghasilkan apa-apa soal ACT.
Semua ibukota negara Asean berada di empat zona waktu: +6, 7, 8, 9. Mayoritas di antaranya berada di zona +7 dan +8; satu di +6. Cuma Rangoon di Myanmar (GMT+6:30) yang paling mendekati zona waktu seharusnya.
Singapura dan Malaysia merupakan dua contoh negara di zona waktu barat yang bergeser ke timur. Bayangkan, Singapura yang terletak lebih barat daripada Pulau Jawa (waktu Indonesia barat/WIB), sejak 1982 malah memilih zona +8 atau sama dengan waktu Indonesia tengah (WITa).
Ini yang menjelaskan mengapa matahari terbit di Singapura (07:00 SST/Singapore Standard Time) terlihat kesiangan daripada di Jakarta (05:35 WIB).
Matahari di Singapura seolah-olah terbenam satu jam lebih lambat (19:03 SST) daripada di Jakarta (18:04 WIB). Di balik itu, Singapura sebetulnya sedang mengoptimalkan manfaat sinar matahari bagi aktivitas kehidupan warganya.
Nyatanya, ACT gagal diwujudkan. Ahli geografi mana pun akan menyatakan, bujur seluruh negara Asean terlalu lebar (51 derajat), sehingga mustahil mengadopsi hanya satu tolok waktu (tapi di China kemustahilan ini dikecualikan).
Ratusan komentar berhamburan di kalangan pengguna twitter melalui kicauannya di linimasa. Seperti biasa, ada yang menolak dan ada yang mendukung. Pendukung kebanyakan berasal dari kalangan pebisnis. Kicauan yang bernada mendukung diantaranya:
Donny Widjaja @KolorKambing: “yang gak setuju penyatuan zona waktu cuma manusia malas dan guoblok Ayo kita dukung penyatuan zona waktu...”
Andika Giriwanayudha @giriwanayudha: “Penyatuan zona waktu??? Why not??? No more wib, wita, and wit.”
Hikmat Darmawan @hikmatdarmawan: Yg mau dipakai dalam rencana penyatuan zona waktu Indonesia adalah WITA (GMT+8). Supaya waktu transaksi ekonomi di Indonesia sama semua.
Fahira Fahmi Idris @fahiraidris: #IndonesiaGMT+8 14. Penyatuan Zona Waktu ini merupakan keputusan yg sgt Strategis dlm hal Peningkatan Perekonomian Indonesia, Layak dDukung
Namun, nampaknya lebih banyak komentar dan kicauan bernada mengkritik, mempertanyakan, bahkan ada yang bernada sinis mengenai rencana pemerintah untuk menyatukan zona waktu tersebut.
Seperti misalnya Panji Hidayatullah @panjidluffy : “Lagian ada2 aja sih . . “, atau Nyoman natta dalam akunnya @Catatan_Nyoman: “Penyatuan Zona waktu masih perlu dikaji lebih lanjut efektifitasnya.”
Lain lagi yang diungkapkan Dwi Basuki Rahmad @odong2_man: “Penyatuan zona waktu bkan hnya soal ekonomi. Ada hal lain yg hrus diliat. Akan ada yg plang lbh larut dan msuk lbh pagi. Waktu sholat. Dll”
Banda Arya dalam akun @banda_arya malah mempertanyakan: “Rencana penyatuan tiga zona waktu seems like a good idea.. But is it possible?”
Sigit W .id @sigitwid: Penyatuan zona waktu, selain dilihat dari sisi bisnis, apakah ada keuntungannya? Kayaknya semuanya dilihat dari sisi bisnis belaka. (-_-)
FadjroelRachman @fadjroel: “@muzz_aman sedang mempelajari alasan2 penyatuan zona waktu. Tx”
wiKeliks @inspirana: “Penyatuan zona waktu seluruh dunia akan mengubah mindset orang tentang hari, jadwal sholat jumat, dan sholat ied.”
Bobby Priambodo lebih ekstrim lagi lewat @bobbypriambodo: “Masih ga bisa ngerti maksud wacana penyatuan zona waktu Indonesia jadi GMT+8. Pemerintah mau ngacauin sistem 24 jam rotasi bumi?”
Sama halnya topiq @trendingtopiq: “Itu yang bikin wacana penyatuan zona waktu buat seluruh Indonesia pasti kaum LDR yang udah desperate + bukan anak IPA!!!”
Sumber : Bisnis Indonesia, 12.03.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar