Oleh : Takashi Nakamichi
TOKYO – Pemerintah Jepang berada dalam tekanan kuat untuk
bisa mendorong kembali pertumbuhan ekonomi domestik setelah data yang keluar
Senin lalu menunjukkan adanya kontraksi tajam pada triwulan ketiga.
Keadaan ini
mau tidak mau memaksa menteri ekonomi Jepang untuk menerima kemungkinan bahwa
negara itu sudah memasuki masa resesi.
Data itu menunjukkan penurunan pada produk domestik bruto
(PDB) tahunan di level 3,5% pada rentang Juli hingga September. Persentase itu
tercatat sebagai yang terendah sejak Jepang diguncang gempa dan disapu tsunami
pada Maret 2011. Volume ekspor, tingkat konsumsi, dan investasi di sektor usaha
membukukan penurunan paling tajam, demikian Cabinet Office Jepang mengumumkan.
“Dengan melihat
indikator ekonomi yang ada, ekonomi hampir pasti menuju jurang resesi,” ujar
menteri ekonomi Jepang, Seiji Maehara.
Situasi yang berada di luar perkiraan pemerintah dan bank
sentral Jepang ini mengancam rencana pemerintah negeri Matahari Terbit untuk
merevisi pajak penjualan, aksi utama dalam skema pemangkasan utang negara yang
menumpuk.
Dalam beberapa pekan mendatang, pemerintah dan Bank of
Japan sepertinya akan meningkatkan upaya menggelontorkan stimulus.
Menteri Maehara menekankan niat pemerintah untuk
menawarkan paket stimulus baru pada akhir November. Ini adalah tambahan atas
stimulus sebelumnya yang dialirkan akhir Oktober lalu senilai ¥422,6 miliar,
atau sekitar Rp 50,9 triliun. Namun, menimbang besarnya utang publik Jepang,
angka stimulus tambahan itu nantinya diperkirakan tidak besar.
Tekanan atas bank sentral untuk melakukan aksi lebih jauh
guna menyiasati situasi terkini juga kian kuat.
“Bank [sentral] harus mengerahkan segala daya upaya untuk
memperbesar dampak dari kebijakan [monetary] easing semaksimal mungkin,” ujar
Gubernur Bank of Japan, Masaaki Shirakawa.
Menurutnya, terlalu dini untuk membicarakan penghentian
monetary easing itu. Hal ini membuka jalan bagi aksi lebih lanjut menyusul
rapat kebijakan 30 Oktober lalu. Kala itu, bank sentral menaikkan nilai program
pembelian aset—alat utama monetary easing—sebesar ¥11 triliun, atau Rp 1.300
triliun. Maka total nilai program itu mencapai ¥91 triliun, atau sekitar Rp 11.000
triliun.
Menurut para analis, data PDB itu bisa memaksa bank
sentral lebih cepat bertindak. “Sepertinya, tahun ini akan ada lagi kemungkinan
diambilnya tindakan [monetary] easing,” ujar Yoshimasa Maruyama, ekonom senior
Itochu Corp.
Menurut data ekonomi yang dirilis pada Senin lalu,
kuatnya dampak krisis utang Eropa serta penguatan nilai tukar yen yang
menyusutkan volume ekspor terlalu berat untuk bisa diimbangi oleh tingkat
belanja publik saat ini.
Dengan tingkat konsumsi yang diperkirakan akan melemah
pada kuartal keempat, Jepang diramalkan takkan bisa memulihkan ekonominya
dengan segera. Masalah sengketa wilayah dengan Cina juga dapat menghambat
volume ekspor Jepang.
Pelemahan itu dapat mengancam kenaikan sebesar lima
persen poin pajak penjualan yang akan diterapkan dalam dua tahap mulai tahun
2014.
— Dengan kontribusi dari Mitsuru Obe.
Sumber : TWSJ, 13.11.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar