Bisnis.com,
JAKARTA - Pengalokasian frekuensi bekas Axis ke XL di pita 1.800 MHZ dinilai
tidak ada dasarnya, karena membuat XL frekuensinya sama dengan Telkomsel,
padahal jumlah pelanggan Telkomsel jauh lebih besar.
“Hal itu menunjukkan tidak ada prinsip keadilan,” ujar
Gunawan Wibisono, pengamat telekomunikasi dari UI.
Dia juga menilai Menkominfo seolah bertindak sendiri
dalam memutuskan merger XL-Axis. Tim Ad Hoc yang dibentuk pun hanya berisi
orang-orang BRTI.
Menurutnya, keputusan merger itu merupakan buah kompromi
dan yang memberikan masukan pun BRTI yang notabene merupakan bawahan menteri.
“Sejak awal proses merger ini sudah salah karena
pemerintah melanggar Pasal 25 ayat 1 PP
No. 53 Tahun 2000,” ungkapnya.
Sebaliknya, sambungnya, Kemenkominfo berlindung pada
Pasal 2, padahal sebenarnya yang boleh
diizinkan menteri hanya ISR, bukan
frekuensinya.
Gunawan melihat hal itu sebagai keanehan, karena BRTI
sebagai regulator melakukan pengkondisian pasar yang seharusnya terjadi secara
natural.
Namun, anggota BRTI Nonot Harsono menjelaskan rekomendasi
tim yang tertulis memang tidak ada yang sesuai dengan keputusan Menkominfo,
tetapi rekomendasi yang lisan jauh lebih banyak.
“Menkominfo
memilih salah satu saja. Pemerintah tidak menempuh kata pengembalian,
tapi rebalancing atau pengaturan ulang,” jelasnya.
Hasil akhir dari penataan frekuensi adalah keseimbangan
daya saing dari tiga besar, yakni Telkomsel, Indosat, dan XL.
Sumber : Bisnis Indonesia, 13.01.14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar