Jakarta
- Pakar hukum pidana dari Universitas Pancasila Jakarta, Reda
Manthovani, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menjerat perusahan atau koorporasi yang terlibat dalam kasus suap pembahasan
raperda terkait reklamasi kawasan pantai utara Jakarta. Perusahaan yang
terlibat bisa dijatuhi pidana, berupa pembubaran dan denda.
Dalam
kasus ini, KPK telah menangkap dan menetapkan sebagai tersangka anggota
DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL)
Ariesman Widjaja, dan Trinanda Prihantoro selaku personal
assistant PT APL.
“Kasus
suap terhadap Sanusi sebaiknya tidak hanya difokuskan kepada individu-individu
penyuap, melainkan diperluas kepada korporasi, karena mens rea atau niat jahat
yang terlihat dalam kasus tersebut ada di pihak korporasi,” ujar Reda di
Jakarta, Kamis (7/4).
Reda
menilai tujuan dari pemberian suap kepada Sanusi bukan untuk kepentingan
pribadi Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro melainkan untuk kepentingan
perusahaan atau korporasi.
“Suap
ini dalam rangka keuntungan bagi perusahaan karena itu perusahaannya harus
dimintai pertanggungjawaban hukum,” tegasnya.
Reda
menjelaskan apabila perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari keahlian unsur
manusiawi, maka perusahaan juga harus menanggung beban yang timbul dari
kejahatan yang dilakukan manusia tersebut. Beban ini, katanya, bukan hanya atas
dasar bahwa manusia bertindak bagi perusahaan, namun sekaligus manusia tersebut
bertindak sebagai perusahaan.
“Di
Indonesia sudah sejak dahulu diatur korporasi sebagai hukum,” ungkapnya.
Disebutkan,
pengaturan korporasi sebagai subjek hukum sudah mulai dikenal dalam Pasal 15
Ayat (1) UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 17 Ayat
(1) UU Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, Pasal 49 Tahun
1976 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana
Narkotika, Pasal 1 butir 13 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika, Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika, Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ada
juga di Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 butir 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 10 dan 14 serta Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Reda
mencontohkan pemidanaan terhadap perusahaan atau korporasi yang melakukan
tindak pidana yang pernah terjadi di Indonesia yaitu dalam kasus korupsi
pengelolaan tanah Pasar Induk Antasari di Banjarmasin oleh PT Giri Jaladhi
Wana. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor:
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm yang diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi
Kalimantan Selatan Nomor 04/PID.SUS/2011/PT.BJM, perusahaan tersebut dijatuhi
pidana berupa pembubaran perusahaan dan denda.
“Berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang sudah sebutkan dan contoh putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka dalam kasus suap terhadap Sanusi,
sebaiknya tidak hanya difokuskan kepada individu-individu penyuap, melainkan
diperluas kepada Korporasi yang mempunyai niat jahat,” katanya.
Senada
dengannya, pengacara warga tiga desa (Wanakerta, Margamulya, dan Wanasari),
Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang Jhonson Panjaitan, meminta perdagangan
saham PT Agung Podomoro Land (APLN) di Bursa Efek Indonesia (BEI) segera
dihentikan, menyusul skandal penyuapan terhadap Sanusi.
Selain
skandal penyuapan, APLN masih tersangkut skandal penyerobotan tanah milik warga
Telukjambe Barat.
"Kita
minta sahamnya disuspen. Tetapi kami harus menempuh prosedur agar tidak
dituding fitnah," ujar Jhonson, belum lama ini.
Menurut
Jhonson, APLN telah melakukan penipuan publik dan skandal pasar modal, baik
dalam kasus reklamasi Pluit City maupun kasus lahan di Telukjambe Barat. Izin
reklamasi yang diberikan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal
23 Desember 2014 kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha APLN telah disalahgunakan.
Dengan melangkahi berbagai regulasi, seperti amdal, persetujuan DPRD, perda
mengenai zonasi laut, dan lain-lain, APLN dengan leluasa dan secara terbuka
memasarkan berbagai produk properti kepada publik.
Hal
yang sama dilakukan APLN terhadap lahan milik petani tiga desa di Telukjambe
Barat. Tanpa izin instansi terkait, perusahaan milik Trihatma Kusuma Haliman
itu telah memasarkan lahan yang bukan miliknya kepada publik untuk dijadikan
kawasan industri dengan mendirikan baliho dan membangun kantor pemasaran.
APLN
melalui COO PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) dalam suratnya No.
01/VIII/SAMP/2015 tanggal 12 Agustus 2015 pernah mengajukan permohonan izin
pemasangan reklame. Namun, permohonan tersebut tidak diproses lebih lanjut
pihak Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) karena pihak SAMP
tidak memenuhi beberapa persyaratan, seperti Izin Undang-Undang Gangguan
(IUUG/HO), surat pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah, dan pernyataan
tertulis kesanggupan memelihara kebersihan, ketertiban dan keindahan reklame.
Meskipun
tidak mengantongi izin, APLN tetap mendirikan baliho dan kantor pemasaran. Aksi
ini mendapat perlawanan, tidak saja dari pihak petani, tetapi berbagai elemen
masyarakat dan pemerintah. Sebagai jawaban, diselenggarakan rapat bersama pada
2 September 2015 yang dihadiri, antara lain DPRD Kabupaten Karawang, BPN
Karawang, ASDA I Kabupaten Karawang, BPMPT Karawang, Satpol PP, petani, dan Tim
Advokasi Petani Karawang (Tampar).
Pertemuan
tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya pertama, APLN (SAMP)
belum terdaftar di BPN Karawang, oleh karena itu belum memiliki bukti
kepemilikan yang sah atas tanah. Kedua, Satpol PP akan membongkar reklame yang
sudah dipasang dan menghentikan segala bentuk kegiatan SAMP dan/atau APLN di
atas tanah lokasi sengketa antara masyarakat pemilik tanah dengan SAMP dan/atau
APLN.
Lebih
lanjut Jhonson mengatakan, pihaknya sangat berhati-hati dalam menangani kasus
ini. Karena yang dihadapi adalah korporasi yang juga diduga kuat melibatkan
sejumlah pejabat. Terlebih, pihaknya menduga APLN telah melakukan pembohongan
publik.
"Bagaimana
mungkin perusahaan yang belum mengantongi izin, bisa menawar-nawarkan saham di
pasar modal dan sudah mendirikan kantor pemasaran," tegasnya.
Sumber
: BeritaSatu, 08.04.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar