Jakarta
- Rencana revisi tarif progresif 900 persen yang akan segera dilakukan
sebagaimana disampaikan Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok
pada Maret
2016, ternyata hanya isapan jempol belaka. Pasalnya, hingga pertengahan
April 2016 ini, revisi tersebut tak kunjung terealisasi.
Kepala Kepala
Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Bay M Hasani, Senin (11/4), mengatakan,
revisi tarif progresif peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta terancam
molor. Alasannya, sampai saat ini belum ada kesepakatan baru tentang mekanisme
dan formulasi tata hitung pengenaan tarif penumpukan peti kemas antarpenyedia
dan pengguna jasa di Pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
Karena
belum ada revisi, kata dia, maka pelaku usaha di sektor ekspor-impor masih akan
“menikmati” beleid PT Pelindo II yang mencekik leher. Dalam beleid berupa
SK Direksi Pelindo II No. HK.568/23/2/1/PI.II-16 tentang tarif pelayanan jasa
peti kemas di terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok itu,
disebutkan bahwa penghitungan tarif progresif 900% mulai dikenakan pada penumpukan peti
kemas hari ke dua. Hanya ada masa bebas penumpukan atau free time pada hari
pertama saja.
Wakil Ketua
Umum KADIN Indonesia Bidang Logistik dan Supply Chain Rico Rustombi melihat bahwa terancam
molornya revisi tarif progresif peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok merupakan
skenario yang telah dipersiapkan. Jika memang ingin merevisi, kata Rico,
seharusnya tarif yang baru di cabut dulu, kemudian diberlakukan tarif lama.
Beleid
sebelumnya menyebutkan, untuk proses bongkar pada hari ke- 1 hingga ke-3, free
charge alias gratis. Sedangkan untuk penumpukan kontainer di hari ke-4 sampai
ke-7 dikenakan tarif 500 persen dan di atas 7 hari sebesar 700 persen. “Saya
khawatir ini cuma alasan mereka agar molor dan tetap memberlakukan tarif
progresif 900 persen,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (8/4).
Di
sisi lain, pernyataan Otoritas Pelabuhan bahwa belum ada titik temu antara
penyedia jasa dan pengguna, bagi Rico itu sangat tidak beralasan. “Penyedia
jasa seharusnya tidak usah didengar masukkannya karena yang menanngung biaya
adalah pengguna jasa,” ujarnya.
Rico
mengaku sangat kecewa atas sikap Otoritas Pelabuhan dan Pelindo II. Pasalnya,
protes keras Kadin Indonesia bersama 15 asosiasi atas penerapan tarif progresif
900 persen, tidak ditanggapi dengan serius. “Ini bukti arogansi Pelindo II yang
tetap memaksa memberlakukan tarif progresif 900%. Perusahaan plat merah jelas
dilindungi pemerintah untuk meraup untung sebanyak mungkin,” ujarnya.
Ia
mendesak agar Pelindo II memberlakukan tarif lama hingga Indonesia single risk
management (ISRM) benar-benar efektif di terapkan serta terbukti mempermudah
dan mempercepat pengurusan kelengkapan dokumen untuk pengeluaran barang di
pelabuhan, barulah Pelindo II bisa membuat tarif progresif. Kadin juga meminta
agar Pelindo II mematuhi Permenhub Nomor 117 Tahun 2015 dimana dalam aturan
tersebut dijelaskan soal penumpukan di berikan waktu tiga hari.
Tarif
tersebut pun harus ada bench marking agar Indonesia mempunyai daya saing yang
baik di mata dunia usaha nasional dan international. “Kadin meminta OP dan
Pelindo II bisa memaknai Paket Ekonomi XI dengan baik agar cita-cita pemerintah
menurunkan dwelling time bisa terealisasi. Bukan sembarangan menetapkan tarif
progresif yang tidak masuk akal,” ujarnya.
Karena
itu, Rico menegaskan, Kadin Indonesia dan asosiasi pengguna jasa tetap meminta
tarif tersebut dicabut. “Kadin juga akan segera hearing ke DPR . Ini sudah
keterlaluan alasanya terlalu dibuat-buat. Bahkan bila perlu kita akan segera
lapor ke Presiden Joko Widodo atau melaporkan ke kepolisian karena ada dugaan
unsur kriminalisasi,” tandasnya.
Hal
senada dikemukakan oleh Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G
Ismy. Ia menegaskan, dengan tidak dicabutnya tarif progresif 900 persen
tersebut menjadikan tarif di pelabuhan Tanjung Priok menjadi termahal di Asean.
Bagaimana tidak, tarif yang berlaku di Tanjung Priok tidak ditemui di pelabuhan
lainnya di negara Asean.
Hanya
free charge di hari pertama, dengan berlakunya kebijakan tarif progresif sejak
1 Maret 2016, PT Pelindo II sebagai operator Pelabuhan Tanjung Priok menetapkan
tarif hari ke-2 dan seterusnya sebesar 900 persen dari tarif dasar atau setara
dengan US$ 20 (20 feet) dan US$ (40 feet) per box per harinya. Ini belum
termasuk biaya-biaya tambahan lainnya.
Mulai
dari pelayanan jasa peti kemas isi, baik ekspor maupun impor, biaya pemindahan
lokasi kontainer termasuk biaya cost recovery. “Dengan diperlakukan di hari
ke-2, membuat daya saing industri Indonesia semakin terpuruk karena kawasan
berikat, jalur prioritas dan kawasan industri tujuan export (KITE) juga terkena
dampaknya,” ujarnya.
Pria
yang akrab disapa Inov ini, mengingatkan bahwa jika melihat tarif penumpukan
kontainer Impor di Pelabuhan PSA, Singapura, free charge berlaku hingga hari
ke-3. Begitu memasuki hari ke-4, tarif dikenakan sebesar US$ 40 (20 feet) dan
US$ 96 (40 feet). Untuk hari-hari berikutnya, tarif tersebut naik sebesar US$
12 (20 feet) dan US$ 24 (40 feet).
Untuk
di Pelabuhan Laem Chabang, Thailand, diberlakukan tarif tetap sejak hari
pertama hingga hari-hari berikut yakni sebesar US$ 3,5 (20 feet) dan US$ 7 (40
feet). Yang cukup fenomenal pemberlakuan tarif di Pelabuhan Haipong, Vietnam yang
memberikan free charge hingga hari ke-5.
Sedangkan
untuk hari ke-6 dan seterusnya, dikenakan tarif tetap sebesar US$ 1,6 (20 feet)
dan US$ 2,4 (40 feet). Tarif fenomenal ini juga berlaku di Cikarang Dry Port
(Indonesia) dimana juga memberlakukan free charge hingga hari ke-5. Untuk hari
ke-6 dan seterusnya diberlakukan tarif tetap sebesar US$ 3,8 (20 feet) dan US$
7,6 (40 feet).
Sumber
: BeritaSatu, 11.04.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar