Bisnis.com, JAKARTA – Terlambatnya adopsi teknologi baru
dinilai memicu inefisiensi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Alhasil produk lokal cenderung kalah bersaing dengan barang impor.
Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan nilai kain impor
selalu lebih besar dari penjualan kain domestik setidaknya sejak 2014. Adapun,
lonjakan volume kain impor mulai terasa pada 2016 atau naik sekitar 10,09%
menjadi sekitar 698.000 ton.
Adapun, angka tersebut meningkat pada tahun ini mendekati
angka 1 juta ton atau tumbuh sekitar 12,35% secara tahunan. Kapasitas yang
berlebih dan insentif ekspor pemerintah membuat kain Negeri Tirai Bambu
memiliki harga yang sangat kompetitif di dalam negeri atau hingga 20% dari kain
lokal.
Ketua
Umum API Ade Sudrajat mengatakan tingginya daya saing kain
dari China tersebut disebabkan oleh tingginya efisiensi mesin yang digunakan.
Menurutnya, salah satu yang menyebabkan rendahnya efisiensi mesin pabrikan
tekstil adalah paradigma pelaku industri kain yang kuno.
“Industri kain dari hulu—dari serat—sampai dengan kain
belum mengikuti tren teknologi. Hasilnya kehilangan efisiensi. Teknologi juga
bermain, apalagi sekarang mengarah ke industri 4.0. Industri tekstil kita masih
terlena dengan paradigma lama,” katanya kepada Bisnis, Senin (30/12/2019).
Sekretaris
Jenderal API Jawa Barat Rizal Rakhman berujar rendahnya
efisiensi mesin di pabrikan salah satunya disebabkan oleh tidak selarasnya
pihak fasilitas pendidikan dan riset tekstil dengan pihak industri. Rizal
menyatakan keduanya selama ini masih berjalan sendiri-sendiri.
Kendati demikian, secara konsolidasi Rizal menyampaikan
kondisi produksi TPT—khususnya industri kecil dan menengah (IKM)—masih
menunjukkan tren positif. Menurut Badan Pusat Statistik indeks produksi IKM
pakaian jadi sepanjang 2011—2018 tumbuh 51,92%. Sementara itu, indeks produksi
pada kuartal III/2019 tumbuh 3,66% menjadi 163,63.
Sumber : Bisnis, 30.12.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar