KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2020–2024 dinilai
mengandung klausul-klausul yang mengancam eksistensi tembakau. Di antaranya
klausul bahwa pemerintah akan terus menggali potensi penerimaan melalui
penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT), dan peningkatan tarif
cukai hasil tembakau.
Sekretaris
LBM PBNU Sarmidi Husna menilai RPJMN
itu memang bermasalah. Pasalnya, penyusunannya hanya mempertimbangkan aspek
kesehatan masyarakat yang berdasarkan data-data yang diduga kurang kuat.
"Akibatnya, kontribusi
industri hasil tembakau (IHT) yang sangat besar dan berdampak luas baik secara
sosial, ekonomi, politik, maupun budaya terhadap pembangunan selama ini
diabaikan," kata Sarmidi dalam keterangannya, Selasa (21/7).
Sarmidi menambahkan kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti kebijakan cukai tahun 2020, RPJMN
2020-2024, rencana revisi PP No. 109 Tahun 2012, dan rencana aksesi WHO-FCTC
mengarah pada pengendalian atau bahkan penghancuran jutaan petani tembakau dan
industri kretek golongan menengah dan kecil tanpa upaya mitigasi yang jelas.
Menurut Sarmidi, seharusnya
kebijakan itu muatannya harus mengacu pada kebijakan terhadap rakyat yang
berdasarkan kepada kemaslahatan. Tapi sayangnya, kebijakan ini justru
berpotensi besar menimbulkan masalah, terutama bagi petani tembakau.
Terkait klausul kebijakan penyederhanaan
(simplifikasi) tarif cukai, PBNU menegaskan bahwa peraturan kenaikan cukai dan
simplifikasi belum memenuhi asas kemaslahatan terutama bagi petani tembakau dan
industri rokok kecil dan menengah.
"Apabila simplifikasi cukai
diterapkan, kami khawatir atas matinya industri rokok kecil dan menengah
terutama rokok kretek. Pasalnya, peraturan simplifikasi ini membuat industri
rokok kecil dan menengah tidak memiliki daya saing," terangnya.
Sumber : Kontan, 21.07.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar