KONTAN.CO.ID
- Pemerintah menyebutkan terdapat tujuh substansi pokok perubahan Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum,
dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen
Setiadi mengatakan, perubahan tersebut antara lain,
Pertama, terkait waktu kerja. Selain waktu kerja
yang umum (paling lama 8 jam/hari dan 40 jam/minggu), RUU cipta kerja ini juga
mengatur tentang waktu kerja untuk pekerjaan yang khusus, seperti pekerjaan
yang dapat kurang dari 8 jam/hari misalnya pekerjaan paruh waktu dan ekonomi
digital atau pekerjaan yang melebihi 8 jam/hari seperti migas, pertambangan,
perkebunan, dan pertanian
Pemerintah
ajukan perubahan dalam RUU Cipta Kerja, agar TKA ahli lebih dipermudah
DPR
dan pemerintah bahas klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, Jumat malam
Kedua, terkait tenaga kerja asing (TKA). Pemerintah
menyebut tidak akan membuka semua jenis pekerjaan untuk TKA, akan tetapi hanya
untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu seperti untuk
darurat, vokasi, dan peneliti.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT).
Elen mengatakan, pekerja kontrak belum diberikan perlindungan yang sama dengan
pekerja tetap. Perkembangan teknologi digital dan revolusi industri 4.0
menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan membutuhkan
pekerja untuk untuk jangka waktu tertentu (pekerja kontrak).
“Pekerja
kontrak diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap antara
lain dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3 termasuk kompensasi
pengakhiran hubungan kerja, kami ingin ada kepastian disini untuk PKWT,” kata
Elen dalam pembahasan DIM RUU cipta kerja, Sabtu (26/9).
Keempat, alih daya (outsourcing). Pemerintah
menyebut, pengusaha alih daya wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama
bagi pekerjanya baik sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap, antara lain
dalam hal upah, jaminan sosial dan perlindungan K3.
Kelima, upah minimum. Upah minimum
tidak dapat ditangguhkan, kenaikan upah minimum menggunakan formulasi
pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas, basis upah minimum pada tingkat
provinsi dan dan dapat ditetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat
tertentu dan upah untuk UMKM tersendiri.
Keenam, penyesuaian perhitungan besaran
pesangon PHK, menambahkan program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).
Ketujuh, program jaminan kehilangan pekerjaan
(JKP).
Pemerintah menyebut hal ini belum diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan. Hal ini dinilai perlu terlebih disaat kondisi pandemi
covid-19.
Pemerintah
mengatakan, perlindungan pekerja yang terkena PHK dengan manfaat JKP berupa
cash benefit, vocational training, dan job placement access. Pekerja yang
mendapat JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa jaminan
kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan
kematian (Jkm), dan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi
Agtas
mengatakan, pemerintah dan DPR menyepakati konsepsi terkait beberapa hal.
Pertama, ketentuan mengenai sanksi akan kembali
menggunakan pengaturan di UU eksisting (UU nomor 13 tahun 2003).
Kedua, dicabutnya upah minimum padat karya
dari RUU Cipta Kerja. Pencabutan ini berdasarkan kesepakatan tripartit yang sebelumnya
dilakukan.
Ketiga, upah minimum kabupaten/kota tidak
dihilangkan.
Keempat, pengaturan kluster ketenagakerjaan
wajib mematuhi putusan mahkamah konstitusi (MK).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemnaker), Anwar Sanusi mengatakan, kondisi ketenagakerjaan saat UU
ketenagakerjaan disahkan pada 2003 berbeda dengan kondisi ketenagakerjaan saat
ini berbeda. Terlebih saat ini tengah memasuki revolusi industri 4.0.
Anwar
mengatakan, RUU cipta kerja ini memfokuskan kepada tiga kelompok. Yakni mereka
yang akan bekerja, mereka yang tengah bekerja dan mereka yang terputus
pekerjaannya karena PHK. Anwar mengatakan pihaknya juga akan melakukan
transformasi balai latihan kerja (BLK) untuk meningkatkan kompetensi pekerja
sesuai kebutuhan industri.
“Kami
ingin BLK ini bukan hanya semacam katakanlah sebagai tempat berlatih tapi dari
sisi dukungan tidak kompatibel lagi dengan kebutuhan, ini yang akan kita
lakukan,” ujar Anwar.
Sementaara
itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, bahwa
pihaknya bersama KSPSI Andi Gani Nena Wea dan 32 federasi yang lain meminta agar klaster ketenagakerjaan
dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Selain itu, serikat pekerja juga meminta
tidak ada pasal-pasal di dalam UU 13/2003 yang diubah atau
dikurangi.
Said
mengatakan, pihaknya siap diajak untuk membahas poin – poin yang belum ada
dalam UU nomor 13 tahun 2003. Seperti penguatan fungsi pengawasan perburuhan,
peningkatan produktifitas melalui pelatihan dan pendidikan, pengaturan regulasi
pekerja industri startup, pekerja paruh waktu, pekerja tenaga ahli, dan
sebagainya dalam rangka meningkatkan investasi dan menghadapi revolusi industri 4.0.
“Mari
kita dialog untuk dimasukan dalam omnibus law tapi tidak boleh sedikitpun
merubah apalagi mengurangi isi UU No 13 Tahun 2003," kata Said Iqbal.
Sumber
: Kontan, 27.09.2020.