KONTAN.CO.ID
- JAKARTA. Di tengah pandemi Covid-19, muncul isu merger antara Gojek dan Grab.
Bergulirnya isu liar ini diduga kuat akibat kondisi SoftBank sebagai pemegang
saham mayoritas Grab yang sedang tertekan.
Investasi
SoftBank di banyak startup rugi besar. Pada tahun fiskal 2019 kerugian SoftBank mencapai US$ 17,7 miliar. Kerugian itu diderita Vision Fund, venture capital milik SoftBank, setelah melakukan
hapus buku nilai investasi di WeWork dan termasuk Uber Technologies Inc.
"Kegagalan
investasi di WeWork paling fatal," ujar Poltak Hotradero, Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia
(BEI) dalam
keterangannya, Minggu (20/9).
Lebih
lanjut Poltak mengungkapkan, di masa pandemi Covid-19 ini laju bisnis
perusahaan investasi milik Softbank mengalami banyak
tekanan. Apalagi hampir sebagian besar investasi SoftBank berada di sektor jasa
transportasi dan logistik yang terkena imbas langsung Covid-19.
Situasi
semakin rumit lantaran adanya komitmen Grab terkait akuisisi saham Uber di Asia
beberapa waktu lalu. Sesuai prospektus IPO Uber, Poltak mengatakan, Uber
memiliki hak untuk menukarkan 23,2% kepemilikan sahamnya di Grab dengan uang
tunai jika Grab tidak melangsungkan IPO hingga 25 Maret 2023.
"Jika
Uber mengeksekusi haknya untuk mencairkan kepemilikan sahamnya, maka Grab harus
membayar Uber sebesar US$ 2,26 miliar atau lebih. Nilai tersebut setara dengan
409 juta saham Grab yang dimiliki Uber dengan harga US$ 5,54 per saham dengan
bunga sebesar 6% per tahun," ungkap Poltak.
Selama
ini portofolio Vision Fund tersebar di banyak perusahaan. Nilainya ditaksir
mencapai sekitar US$ 33 miliar hanya di sektor transportasi dan logistik.
Beberapa
investasi Vision Fund di aset ride-sharing di antaranya adalah investasi US$
7,7 miliar di Uber, US$ 11,8 miliar ke Didi China, US$ 3 miliar ke Grab
Singapura, dan US$ 250 juta ke dalam Ola India.
Untuk
menutupi kerugiannya itu, SoftBank telah melepas kepemilikan sahamnya di ARM,
perusahaan chip asal Inggris senilai US$ 40 miliar. SoftBank juga dikabarkan
bakal melepas sahamnya di T-Mobile, perusahaan telekomunikasi asal Jerman,
senilai US$ 21 miliar.
Menurut
Poltak, merger antara Grab dan Gojek akan menemui beberapa kesulitan. Misalnya,
filosofi dan kultur antara kedua perusahaan ride-hailing tersebut berbeda. Grab
fokus menguasai pasar regional. Makanya, unit bisnis Uber di Asia Tenggara
diakuisisi oleh Grab dalam rangka memperluas pasar Grab.
Sementara,
Gojek sejak awal lebih fokus menggarap pasar Indonesia sebagai pasar terbesar
di Asia Tenggara. Dengan menguasai pasar Indonesia, Gojek akan lebih leluasa
dan mudah menerapkan strateginya untuk menggarap pasar di luar negeri.
Konsep
dan strategi antara Grab dan Gojek juga berbeda. Grab saat ini masih fokus pada
bisnis tranportasi yang melayani pengantaran orang maupun barang.
Sementara
Gojek sudah jauh berkembang bukan hanya terbatas pada bisnis transportasi.
Bisnis Gojek kini juga bergerak dengan cepat ke arah pembayaran non-tunai
melalui Go-Pay.
"Go-Ride
saat ini lebih sebagai bagian dari ekosistem supaya Go-Pay lebih banyak
dipakai. Gopay sendiri statusnya sudah Decacorn," kata Poltak.
Menurut
Poltak, perusahaan ride-hailing sebenarnya tidak bisa mengkaver biaya jika
hanya mengandalkan lini bisnis transportasi. Apalagi, jika perusahaan
terus-menerus menerapkan strategi bakar uang.
"Kalau
memang mau merger pihak yang mengakuisisi dan diakuisisi harus jelas. Jika Grab
yang mengakuisisi Gojek, valuasi Go-Pay harus dihitung. Sementara bagi Gojek
mereka tidak membutuhkan akusisi itu karena semua yang ada di Grab sudah ada di
Gojek," ujar Poltak.
Sumber : Kontan, 21.09.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar