JAKARTA: Pemerintah diusulkan mengubah status Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi BUMN ke-2, setelah PT Pertamina (Persero), guna memperbaiki sistem tata kelola industri migas di Tanah Air.
Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat struktur kelembagaan hulu migas sangat menentukan tata kelola, yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja hulu migas nasional.
"BP Migas diubah saja menjadi BUMN migas ke-2, dan diberi Kuasa Pertambangan wilayah tertentu yang tidak [mampu] dikelola sendiri oleh Pertamina. Dengan demikian, tata kelola industri migas kita menjadi lebih baik," ujarnya, akhir pekan (7 Oktober).
Menurut dia, dengan status sebagai BUMN migas, BP Migas bisa mendapatkan kuasa pertambangan melalui sistem Kontrak Kerja Sama. Artinya, Pertamina dan BP Migas baru itu mendapatkan Kuasa Pertambangan dari pemerintah, melalui Kementerian ESDM.
Dia menjelaskan dengan adanya dua BUMN migas di Tanah Air, Pertamina mendapatkan operator pertama serta menguasai saham dan investasi mayoritas minimal 60%. Namun, Pertamina tidak berkontrak terhadap pemerintah sendiri.
Sementara itu, BP Migas sebagai BUMN ke-2 bertindak sebagai operatorship Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dengan sistem kontrak secara business to business, dan tipe kontrak bervariasi, sepanjang dianggap paling menguntungkan bagi negara dan kedua belah pihak.
"Kita bisa meniru model yang diterapkan di Norwegia dengan StatOil dan Petoro yang ditempatkan di bawah Kementerian Petroleum Norwegia."
Dia mengakui secara konseptual, perubahan status BP Migas menjadi BUMN migas memang relatif paling ideal dalam memperbaiki tata kelola industri migas nasional. Namun, sulit diterapkan dalam tata organisasi pemerintahan Indonesia saat ini karena terbentur UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.
Selain itu, pengaturan tentang pemisahan deviden dan penerimaan negara, juga berpotensi menimbulkan masalah, mengingat belum siapnya perubahan radikal, serta dalam konteks realitas politik sulit diterima.
"Tetapi, BP Migas bisa dijadikan sebagai BUMN khusus, yang dibentuk berdasarkan UU Migas baru, lex specialis, tidak tunduk pada UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas," tutur Pri.
Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Pertamina Waluyo berpendapat Indonesia memang harus segera berbenah diri mengatur pengelolaan migas, untuk mengantisipasi dampak kenaikan kebutuhan di tengah turunnya pasokan migas domestik.
"Total lifting Indonesia sudah sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan kilang domestik. Ini mengkhawatirkan dalam security of supplay crude untuk ketahanan energi Indonesia," katanya.
Di sisi lain, dia mengusulkan agar Pertamina sebagai perusahaan migas nasional bisa menjadi pengelola semua produksi gas bumi di seluruh wilayah kerja produksi Indonesia, mulai dari produksi, pengelolaan transportasi, hingga penjualan. (ea)
Sumber : Bisnis Indonesia, 09.10.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar