BISNIS.COM, JAKARTA—Penaikan harga bahan bakar minyak
subsidi, khususnya solar, dipastikan memberatkan operator angkutan massal,
terutama perusahaan pelayaran antarpulau.
Selama ini, operator kapal penyeberangan atau ferry
menikmati subsidi solar, tetapi tarif diatur oleh pemerintah. Akibatnya, daya
tawar operator ferry sangat rendah sehingga mereka terjebak oleh kebijakan
tarif yang sangat konservatif.
Sejak 3 tahun terakhir, pemerintah tidak kunjung
menyesuaikan tarif angkutan penyeberangan meskipun sektor usaha ini makin
terjepit oleh lonjakan biaya, baik untuk perawatan kapal maupun upah tenaga
kerja.
Terakhir, menjelang pengumuman penaikan harga bahan bakar
minyak bersubsidi, Menteri Perhubungan EE Mangindaan berjanji menaikkan tarif
angkutan maksimal 20%.
Bagi pemerintah, penaikan tarif ini ibarat buah
simalakama. Sebab, selain tidak popular, jika dinaikkan makin memberat
masyarakat, tetapi jika tidak naik akan merusak kinerja transportasi.
Apapun kekhawatiran pemerintah, kenaikan tarif angkutan
penyeberangan tidak bisa ditunda lagi. Pasalnya, sebelum kenaikan harga BBM
subsidi saja, tarif yang berlaku sudah tertinggal 45% dari biaya angkut
penyeberangan.
Bahkan, menurut Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Harjo, tarif penyeberangan
di lintas komersial strategis sempat tertinggal dari tarif penyeberangan
keperintisan, yang notabene mendapatkan subsidi (public service obligation/PSO)
dari pemerintah.
Lintasan strategis itu antara lain Merak–Bakauheuni,
Ketapang–Gilimanuk, Padangbai–Lembar, Bajoe–Kolaka, Sape–Labuhan Bajo, dan
Palembang–Muntok.
Kebijakan tarif yang konservatif selama ini menunjukkan
keberpihakan pemerintah masih rendah terhadap angkutan massal.
Jangankan mengurangi subsidi BBM, usaha
penyeberangan—yang bisa dikatakan angkutan supermassal karena mampu mengangkut
ratusan truk barang dan ribuan orang sekali jalan—seharusnya mendapatkan
tambahan subsidi.
Jika itu tidak mampu dilakukan pemerintah, setidaknya
penaikan tarif pada besaran yang wajar sudah cukup untuk menghindari ‘jembatan
bergerak’ ini bertahan hidup.
Beranikah pemerintah membuat keputusan sulit sekali lagi?
Kita tunggu saja...
Sumber : Bisnis Indonesia, 22.06.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar