Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Zirconium
Indonesia mengeluhkan adanya praktek kecurangan dalam pengukuran kadar mineral
zirconium. Akibatnya, pelaku usaha di sektor pertambangan ini dirugikan.
Sekjen Asosiasi Pertambangan Zirconium Indonesia Sihol
Manullang mengatakan akhir-akhir ini terjadi praktek campur aduk antara metode
Gravimetry dengan XRF dalam menentukan kadar minimum ZrO2 yang terkandung dalam
bijih zirconium.
“Hingga Oktober 2014, ekspor zirconium tidak ada masalah,
berjalan lancar. Namun November ada pembelokan metoda yang menyulitkan
investor,” katanya, Rabu (17/12/2014).
Dia mengungkapkan selama ini, pengukuran kadar ZrO2 yang
terkandung dalam zirconium asal Kalimantan diperoleh kadar ZrO2 rata-rata
sebesar 66%.
Namun, sejak November 2014, Bea Cukai secara sepihak
menerapkan metode X-Ray Fluorescence (XRF).
Sihol mengungkapkan perubahan metode yang dia anggap
dilakukan secara sepihak tersebut telah menimbulkan masalah bagi pelaku usaha,
sebab kadar ZrO2 yang terkandung dalam zirconium turun menjadi rata-rata 64,5%
saja.
Sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(Permen ESDM) No.20 tahun 2013, batas minimum zirconium yang bisa di ekspor
memiliki kandungan ZrO2 65,5% atau minimum 95% lolos saringan Mesh 60.
“Apa motif Bea Cukai meragukan analisis PT Surveyor
Indonesia dan meminta Balitbang ESDM, Tekmira, untuk melakukan pengukuran
kadar,” ungkapnya.
Lebih jauh, pihaknya menengarai adanya upaya sistemis
yang dilakukan agar zirconium tidak sampai di ekspor.
Sehingga pabrik pengolah yang mengolah zirconium hingga
lolos saringan Mesh 325 memperoleh bahan baku dengan harga murah.
Sumber : Bisnis Indonesia, 17.12.14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar