Bisnis.com,
JAKARTA—Kebijakan pemerintah melakukan deregulasi peraturan pengamanan dan
rantai pasok untuk kargo dan pos yang diangkut dengan pesawat dinilai belum
sesuai harapan pelaku usaha untuk menekan biaya logistik.
Deregulasi
yang dimaksud antara lain Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub)
No. 153/2015 tentang Pengamanan Kargo dan Pos Serta Rantai Pasok Kargo dan Pos
yang Diangkut dengan Pesawat Udara, menggantikan aturan sebelumnya
Permenhub No. 32/2015.
Ketua Asosiasi Logistik
Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita
mengatakan pelaku usaha logistik berharap pemerintah bisa menciptakan
persaingan yang sehat, terutama bagi operator pemeriksa kargo dan pos.
“Kami
sebenarnya berharap selain tarif batas bawah, ada juga tarif batas atas agar
operator regulated agent tidak
semena-mena di lapangan karena ada operator RA yang masih monopoli untuk
bandara tertentu atau airline tertentu,” katanya, Selasa (10/11/2015).
Sayangnya,
dalam Permenhub No. 153/2015, aturan tarif batas atas tersebut tidak ada.
Kemenhub hanya mengatur tarif batas bawah sebesar Rp550/kg
atau sama seperti peraturan sebelumnya Permenhub No. 32/2015.
Selain tarif
batas atas, lanjut Zaldy, persyaratan mendapatkan sertifikat RA, terutama
mengenai modal disetor juga masih sama seperti aturan sebelumnya, yakni
sekurang-kurangnya sebesar Rp25 miliar.
“Padahal,
kami harapkan setoran modal itu dikembalikan pada aturan sebelumnya, yakni Rp2
miliar agar terjadi persaingan yang sehat. Saya kira konsep RA masih perlu
ditinjau ulang karena salah kaprah dan tidak sesuai dengan aturan
internasional,” tegasnya.
Zaldy juga
menambahkan aturan RA yang perlu ditinjau ulang lainnya antara lain, pertama,
pemeriksaan operator RA seharusnya dilakukan di lini satu bandara, bukan di
lini 2. Pasalnya, pemeriksaan merupakan bagian dari pelayanan gudang kargo.
Kedua, pemeriksaan
RA seharusnya dilakukan oleh maskapai atau institusi yang ditunjuk maskapai,
misalnya PT Angkasa Pura. Hal itu dikarenakan gudang kargo di bandara
dikelola oleh PT Angkasa Pura.
“Selain itu,
biaya RA juga seharusnya jadi satu dengan biaya surat muatan udara tidak
dipisahkan seperti sekarang, dan perusahaan kurir atau forwarding yang
menggunakan air cargo juga perlu mendapatkan sertifikasi RA,” ujarnya.
Sekadar
informasi, Permenhub mengenai pengamanan dan rantai pasok bagi kargo dan pos
yang diangkut angkutan udara tersebut merupakan salah satu dari lima Permenhub
yang dideregulasi pada tahun ini.
Sementara
itu, Ketua
DPP Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia
(Asperindo) Syarifuddin mengatakan selama RA berjalan tidak terjadi
percepatan arus barang dalam industri jasa ekspres dan logistik.
Selain
meningkatkan potensi kerusakan barang, penerapan tarif batas bawah oleh RA
menyebabkan biaya logistik semakin tinggi. Bahkan, tarif RA di Bandara Kuala
Namu, Deli Serdang, Medan, sempat mencapai angka Rp1.200/kg.
“Penyelenggara
RA dengan tarif tinggi tidak salah karena dibenarkan oleh peraturan. Tapi tarif
atasnya tidak terkontrol sehingga biaya logistik tinggi, daya beli masyarakat
turun, daya saing juga drop,” tuturnya.
Dikonfirmasi
terkait Permenhub 153/2015 tersebut, Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang
Keterbukaan Informasi Publik Hadi M. Djuraid tidak merespons. Begitu
juga dengan Kabag Hukum dan Humas Ditjen Hubud Hemi Pamuraharjo.
Sumber :
Bisnis Indonesia, 10.11.15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar