Bisnis.com,
JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dugaan kebohongan publik terkait
harga gas yang dilakukan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) harus
diusut tuntas.
Pemerintah
tidak bisa membiarkan karena persoalan harga terkait erat dengan kepentingan
konsumen. “Dugaan ini tidak bisa
dibiarkan. BPK harus melakukan audit terhadap PGN,” kata Tulus, Selasa
(17/11/2015).
Tulus
menegaskan, BPK harus turun tangan. Dari hasil audit akan diperoleh, struktur
tarif yang diterapkan PGN. Kalau
ternyata PGN juga memberlakukan tarif yang berbeda seperti yang dinyatakan kepada publik,
pemerintah harus memberikan sanksi tegas. “Kalau sudah ada audit BPK, berarti sudah teruji oleh lembaga yang
kompeten,” lanjutnya.
Di sisi lain
Tulus mengatakan, sebagai BUMN yang sekaligus perusahaan publik, PGN harus
bersikap transparan, termasuk dalam
harga. Apalagi, gas sangat berpengaruh
terhadap masyarakat, karena end user dari gas adalah PLN yang notabene
perusahaan penyedia listrik dan berbagai sektor industri.
Tulus juga
menambahkan, jika PGN memberlakukan struktur tarif yang berbeda dengan yang
dipublikasikan, sesungguhnya PGN tidak
layak menjadi agregator gas. Karena
bagaimana pun, memanipulasi tarif jelas merupakan tindakan yang fatal.
“Jika
demikian, PGN tidak layak menjadi
agregator gas. Sebab, hal itu menyangkut ketidaktransparanan manajemen dalam memformulasikan tarif,”
katanya.
Bukan hanya
itu. Sebagai perusahaan publik, apa yang dilakukan PGN juga ibarat bumerang
yang bisa mempengaruhi harga saham
mereka. Jika publik sudah tidak percaya,
lanjutnya, harga saham mereka bisa rontok.
Perihal
dugaan kebohongan harga itu terkait pernyataan Kepala Divisi Komunikasi PGN
Irwan Andri Atmanto. Menurut
Irwan, PGN menjual gas dengan harga US$ 14 per MMBTU.
Bahkan di Sumut, menurut Irwan, PGN hanya mengambil
selisih US$0,2 per MMBTU. Pernyataan tersebut tentu patut dipertanyakan. Sebab, PGN juga diduga menjual gas dengan
harga yang lebih tinggi.
Direktur Eksekutif
Indonesian Resourcess Studies (IRESS) Marwan Batubara, mengatakan, BUMN harus transparan dalam menetapkan harga.
Harus jelas komponennya, apakah sesuai
aturan atau tidak.
Bahkan
pernyataan PGN bahwa mereka sudah membeli mahal, yakni US$ 13,8 per MMBTU dari
Arun-Belawan, juga harus diklarifikasi.
Jangan sampai menimbulan kesan, bahwa
tingginya harga disebabkan kesalahan Pertamina. “Jangan-jangan ada
faktor lain,” katanya.
Untuk itulah
Marwan berpendapat, yang seharusnya melakukan klarifikasi adalah pemerintah.
Pemerintah harus terlibat, sehingga
tidak ada kesimpangsiuran informasi kepada publik.
“Namun, yang
penting harus solid. Ini bukan melibatkan
swasta, ini perusahaan negara. Mestinya pemerintah bisa mengendalikan, apakah itu Kementerian ESDM
atau Kementerian BUMN,” lanjutnya.
Lebih dari
itu, menurut Marwan, yang menjadi pemicu adalah Permen ESDM Nomor 19 Tahun 2009
tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui
Pipa. Dikatakan harga gas
ditetapkan oleh BUMN.
“Kalau masih
membiarkan BUMN menetapkan harga, itu sama artinya dengan tidak mematuhi
perubahan terutama pasal 28 UU Migas.
Itu yang seharusnya menjadi pegangan, bukan
Permen,” kata Marwan.
Sumber :
Bisnis Indonesia, 17.11.15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar