KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA)
Maret 2020 naik tipis dibanding bulan sebelumnya. HBA Maret tercatat sebesar
US$ 67,08 per ton atau naik tipis 0,28% dibandingkan HBA Februari yang berada
di angka US$ 66,89 per ton.
Secara bulanan, HBA berturut-turut
mencatatkan kenaikan. Pada Februari, HBA juga naik 1,45% dibanding bulan
sebelumnya, menjadi sebesar US$ 66,89 per ton.
Kendati begitu, Direktur Eksekutif Asosiasi
Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai bahwa kondisi tersebut tidak mencerminkan
penguatan harga batubara di pasar global. Menurutnya, indikator pada tren HBA
kuartal awal ini masih diliputi ketidakpastian, yang diproyeksikan masih akan
bertahan untuk bulan-bulan berikutnya.
"Masih terlalu dini untuk
menyebut adanya tanda positif penguatan harga. Ke depannya bisa saja ada
faktor-faktor eksternal lainnya yang dapat mempengaruhi pergerakan harga,"
kata Hendra kepada Kontan.co.id, Kamis (5/3).
Di tengah kondisi saat ini,
Hendra menyatakan bahwa HBA sulit untuk dijadikan indikator referensi
pergerakan harga di pasar. "Mengingat HBA pada dasarnya adalah rata-rata
empat indeks dari bulan sebelumnya. Misalnya HBA Maret menggunakan rata-rata
empat indeks di Februari," terangnya.
Hendra bilang, pada bulan Februari lalu permintaan
batubara dari China cukup tinggi antara lain karena libur Imlek dan belum
stabilnya pasokan batubara domestik.
Hal itu terjadi lantaran industri tambang yang belum beroperasi penuh.
"Sementara demand dari negara-negara lain belum kelihatan ada peningkatan
sejauh ini," sambung Hendra.
Lebih lanjut, Hendra menyebut bahwa efek
dari wabah corona belum dapat tergambar secara pasti. Ia mengatakan industri di
China belum beroperasi secara optimal, dan perusahaan batubara di sana juga
belum sepenuhnya beroperasi.
"Kita lihat di bulan Maret seperti apa. Tapi efek virus corona belum
sepenuhnya bisa di asses," ungkapnya.
Hendra memprediksi, pengaruh
corona untuk batubara bisa tergambar dalam beberapa pekan ke depan setelah
pengurangan energi dari China sudah terpetakan dengan perimbangan pasokan
energi . Peluang bagi Indonesia, kata Hendra, bisa terjadi saat pasokan
batubara domestik China terkendala, sehingga meningkatkan kebutuhan impor
batubara.
"Tentu demand energi
Tiongkok akan berkurang tapi sejauh mana kelancaran pasokan domestik mereka
juga belum bisa di asses. Mungkin dalam beberapa pekan ke depan. Kalau pasokan
domestik terkendala hal ini berpeluang mendorong impor," terang Hendra.
Dihubungi terpisah, Ketua Indonesian Mining and
Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan
bahwa efek dari Corona jelas mengakibatkan produksi batubara China terganggu.
Kendati begitu, tidak secara otomatis membuat impor batubara China meningkat
tajam.
Sebab, kondisi ekonomi dan
industri China yang juga terganggu akan menurunkan pasokan batubara terhadap
PLTU. "Dengan kondisi ini, dapat diproyeksikan kebutuhan impor dari
Indonesia meningkat, namun harus diletakkan juga seberapa besar industri mereka
terganggu. Bahkan kondisi riil yang ada, justru Cina tidak agresif dalam
meningkatkan impor batubara," terang Singgih.
Ia menilai, kebutuhan batubara
yang belum meningkat tajam mengindikasikan upaya China untuk menjaga
keseimbangan antara gangguan produksi, kapasitas stockpile atau persediaan
batubara serta kondisi industri terkait kebutuhan energi.
Singgih bilang, hal yang sama
juga akan dilakukan oleh negara lain untuk mengantisipasi dampak Corona ini.
"Bukan lantas meningkatkan impor berlebih, namun mereka akan membaca juga
produksi dalam negeri, pertumbuhan industri dan proyeksi global ekonomi. Mereka
harus menjaga berbagai parameter itu agar harga tidak secara ekstrim naik,"
terangnya.
Dengan begitu, harga yang
tercermin dalam HBA belum menunjukkan tingkat kestabilan harga. "Nanti
bisa jadi turun lagi, kalau naik, tidak terlalu tinggi," tandasnya.
Sumber : Kontan, 05.03.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar