JAKARTA: Pelaku usaha
mendesak evaluasi tarif penanganan pindah lokasi penumpukan (PLP) atau relokasi
terhadap barang jenis general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok guna
menghindari membengkaknya biaya logistik.
Pasalnya, tarif yang diberlakukan hanya berdasarkan
kesepakatan tarif PLP general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok oleh
manajemen Pelindo II dengan sejumlah asosiasi penyedia jasa di pelabuhan itu
sudah kedaluwarsa atau habis masa berlakunya sejak dua bulan lalu.
Ketua Umum Dewan Pemakai
Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mengatakan,
kesepakatan biaya penanganan PLP itu juga tidak pernah disosialisasikan
sebelumnya kepada pelaku usaha.
“Kami juga meminta KPPU
(komisi pengawas persaingan usaha) untuk menelusuri hadirnya kesepakatan
tersebut,” ujarnya kepada Bisnis, hari ini Senin (10/9).
Dia mengatakan, hampir
seluruh barang jenis general cargo/breakbulk di kenakan biaya relokasi
akibat keterbatasan lapangan penumpukan
dan minimnya fasilitas gudang di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Biaya relokasi itu sangat
memberatkan pemilik barang dan menambah beban logistik nasional,” paparnya.
Toto mengatakan, seharusnya
tarif PLP jenis kargo ini juga bisa di evaluasi dan di tekan dengan
dilakukannya pembenahan tata ruang Pelabuhan Tanjung Priok.
Disisi lain, kata dia,
pertumbuhan volume bongkar muat kargo jenis tersebut cukup signifikan setiap
tahun.“Padahal semestinya operator pelabuhan berkewajiban menyiapkan fasilitas
lapangan yang cukup guna menampung semua barang yang di bongkar muat,” tuturnya.
Biaya penanganan pindah
lokasi penumpukan/relokasi general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok
selama ini mengacu pada kesepakatan tarif PLP yang ditandatangani Manajemen
Pelindo II dengan sejumlah asosiasi di Pelabuhan Tanjung Priok pada 15 Juli 2011.
Kesepakatan tersebut berlaku selama satu tahun atau hingga 15 Juli 2012.
Kesepakatan tersebut
ditandatangani BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) DKI
Jakarta, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (Alfi) DKI, Asosiasi Perusahaan
Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo) dan DPC Indonesia National
Shipowners Association (INSA) Jaya.
Kesepakatan juga di ketahui
dan di tandatangani oleh General Manager Pelindo II Tanjung Priok, serta Kepala
Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok.
Berdasarkan kesepakatan itu
untuk moving di kenakan biaya Rp.40.000/cbm/ton, receiving Rp.15.000/cbm/ton,
delivery Rp.15.000/cbm/ton, storage Rp.2.250/cbm/ton, dan administrasi
Rp.50.000/delivery order (DO).
Sedangkan penanganan PLP
breakbulk atau alat berat menggunakan trucking di kenakan storage (penumpukan)
Rp.2.250/cbm/ton, moving menggunakan low bed Rp.1.750.000, dan administrasi
Rp.50.000/DO. Kemudian, jika PLP alat berat menggunakan driver dikenakan
storage Rp.2.250/cbm/ton, pergerakan Rp.250.000/unit serta administrasi
Rp.50.000/DO.
Toto yang juga menjabat
Ketua Bidang Regulasi & SDM Dewan Logistik Indonesia, mengusulkan tarif PLP
kargo jenis tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok bisa di turunkan hingga lebih
50% dari yang ada saat ini, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap tarif
penanganan PLP atau over brengen peti kemas.
Soalnya, kata dia, kegiatan
PLP itu seharusnya menjadi beban dan tanggung jawab operator pelabuhan karena
tidak mampu menyiapkan fasilitas lapangan penumpukan.
“Sebelumnya untuk PLP peti
kemas bisa di turunkan, seharusnya untuk PLP kargo umum dan breakbulk juga bisa
dilakukan hal yang sama,” ujarnya.
Widijanto, Ketua Komite
Tetap bidang perdagangan impor ekspor Kadin DKI Jakarta mengatakan, evaluasi
terhadap biaya PLP general cargo/breakbulk di Pelabuhan Tanjung Priok perlu
dilakukan, apalagi masa berlaku tarif kesepakatan tersebut sudah berakhir.
“Harus segera di evaluasi,
jangan sampai justru terjadi praktek tarif liar, yang ujung-ujungnya akan
membebani pelaku usaha,”ujarnya.
Dia mengakui selama ini
keluhan dan keberatan biaya PLP jenis kargo tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok
masih dirasakan pemilik barang impor.
Sebab, ungkapnya, seringkali
barang yang baru di bongkar langsung terkena PLP karena ketidaktersediaan space
penumpukan. “Ini tidak adil dan sangat memberatkan,” tuturnya.
Di konfirmasi hal tersebut,
Juru Bicara Pelindo II cabang Pelabuhan Tanjung Priok Sofyan Gumelar
mengatakan, justru baru mengetahui jika kesepakatan tarif PLP tersebut sudah
kedaluwarsa.
“Saya juga baru
mengetahuinya dari anda, nanti akan kami sampaikan kepada manajemen bagaimana
mencari solusinya,” ujarnya kepada Bisnis.
Data Pelindo II menyebutkan,
selama Januari-Juli 2012, arus barang umum (general cargo) melalui Pelabuhan
Tanjung Priok mencapai 29.847.893 ton atau naik 22,6% dibanding periode yang
sama tahun lalu 24.330.764 ton.
Arus barang umum selama
tujuh bulan pertama 2012 itu berasal dari perdagangan luar negeri (impor)
sebanyak 8.941.881 ton dan ekspor 3.262.836 ton.
Kemudian berasal dari
perdagangan dalam negeri atau antar pulau yang di bongkar sebanyak 8.858.634
ton dan yang di muat 8.784.542 ton.(K1/api)
Sumber : Bisnis Indonesia,
10.09.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar