JAKARTA: Meski bank-bank
sentral utama lain seperti Bank Sentral Eropa (ECB), the Federal Reserve (the
Fed), dan Bank Jepang (BOJ) telah melancarkan ‘quantitative easing’ (QE), Bank
Rakyat China (PBOC) diperkirakan tidak akan mengikuti langkah mereka.
Sebagai bank sentral
perekonomian terbesar kedua di dunia yang tengah melambat, PBOC berpotensi beri
stimulus untuk genjot perekonomian, meningkatkan konsumsi domestik untuk
mengimbangi penurunan ekspor, dan mengangkat lagi kinerja bursa saham.
Meski demikian, menurut
Rektor Universitas Renmin Chen Yulu yang merupakan penasehat akademis PBOC,
risiko rebound harga properti menjadi alasan mengapa pemerintah menahan diri
untuk beri stimulus.
“Kebijakan moneter China
tengah dalam situasi yang cukup sulit. Pemerintah harus menstabilkan
pertumbuhan, tapi di sisi lain juga harus mencegah rebound harga perumahan,”
kata Chen seperti dikuti dari Bloomberg.
PBOJ telah memangkas suku
bunga acuan pada Juni dan Juli, serta menurunkan rasio kecukupan cadangan modal
pada Mei. Pertumbuhan ekonomi terus turun dalam 7 kuartal terakhir karena
ekspor dan permintaan domestik yang melemah.
Pemerintah juga telah
membatasi industri properti yang sebelumnya lebih memanjakan spekulan ketimbang
pembeli rumah murah. Pemerintah mengatur sistem KPR, sehingga harga properti
lebih terjangkau dan tidak volatil.
“Sekali properti
menggelembung, tidak ada satupun negara yang mampu mengatasi masalah ini secara
efektif. Sebagian besar malah harus kena krisis. China tidak boleh krisis,”
jelas Chen.
Menurutnya, keputusan
menurunkan suku bunga acuan dan rasio kecukupan modal tergantung pada seberapa
buruk kondisi eksternal. Setelah ECB, the Fed, dan BOJ memberi stimulus, ada
harapan perekonomian dan permintaan ekspor membaik.
Menurut Kepala Ekonom Bank
Mandiri Destry Damayanti, kondisi perekonomian China yang tidak separah Eropa,
AS, dan Jepang juga menjadi alasan mengapa China tidak mengikuti langkah yang
diambil ketiga bank sentral tersebut.
“China tidak perlu
menyuntikkan dana ke pasar SUN,” ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.
Menurutnya, pemerintah Negeri
Tirai Bambu akan lebih berkosentrasi dalam peningkatan belanja negara terutama
untuk investasi proyek pembangunan
infrastruktur guna meningkatkan penanaman modal asing (PMA) dan
menciptakan lapangan pekerjaan.
Chen juga melihat hubungan
ekonomi China dengan Jepang terancam oleh konflik sengketa kepulauan di Laut
China Timur yang telah menyulut unjuk rasa besar-besaran di China dan
mengganggu kinerja perusahaan-perusahaan Jepang di China.
Sebelumnya, pemerintah China
ingin menjadikan Tokyo sebagai pusat bisnis berdenominasi yuan. Namun, rencana
ini semakin sulit mengingat memanasnya hubungan bilateral kedua negara dengan
perekonomian terbesar di Asia itu.
Chen melihat Hong Kong,
Singapura, London, dan Taiwan berpotensi menggantikan peran Tokyo untuk menjadi
basis bisnis yuan di luar negeri. “Perdagangan antar kedua negara telah
berkurang. Saya harap ini sementara,” ujarnya. (/faa)
Sumber : Bisnis Indonesia,
28.09.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar