LEUVEN--Meskipun mendapat tentangan dari banyak pihak,
tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek akhirnya naik sebesar
Rp 2.000 mulai 1 Oktober 2012. Dibandingkan dengan laju inflasi di Jakarta
2011-2012 yang hanya sekitar 3,9%, maka kenaikan tarif KRL ini secara
persentase tidaklah kecil.
Untuk jurusan Tangerang-Jakarta, misalnya, kenaikan tarif
yang terjadi sebesar 36%, sementara untuk jurusan Bogor-Jakarta, kenaikan ini
adalah 28,5%.
Landasan hukum yang dipakai oleh PT Kereta Api Indonesia
(PT KAI) dalam hal ini adalah Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2011. Salah
satu pokok isi PP 83/2011 tersebut adalah penunjukan PT KAI sebagai
penyelenggara prasarana dan sarana kereta Jalur Lingkar Jabodetabek tanpa
menggunakan dana APBN maupun APBD.
Seperti dinyatakan oleh PT KAI Commuter Line, yang
merupakan anak perusahaan PT KAI, alasan di balik kenaikan tarif ini adalah
peningkatan layanan di stasiun, seperti peremajaan stasiun, peron, jumlah
petugas keamanan, petugas operasional
hingga pembelian kereta dari Jepang.
Artinya, biaya operasional dan investasi sarana dan
prasana KRL Commuter Line Jabodetabek kini sepenuhnya dibebankan ke masyarakat
pengguna.
Setuju atau tidak, apa yang terjadi dalam pelayanan
angkutan jalan rel di Jabodetabek sekarang ini adalah sebagian dari mekanisme
liberalisasi pasar.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah naiknya
tarif sebesar ini merupakan hal yang normal dalam liberalisasi angkutan jalan
rel?
Lupakan Kompetisi
Ide utama dari liberalisasi moda angkutan jalan rel
adalah peringanan beban keuangan pemerintah dalam menyelenggarakan moda
angkutan jalan rel dengan menyerahkannya ke pihak swasta. Tentunya anggaran
pendapatan pajak negara atau daerah, dalam APBN atau APBD untuk penyelenggaraan
angkutan jalan rel dapat dikurangi dan dialokasikan ke sektor anggaran lainnya.
Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa swastanisasi atau
privatisasi bukanlah satu-satunya kegiatan yang dilakukan dalam proses
liberalisasi. Untuk menjamin efisiensi pasar, proses liberalisasi juga
memerlukan elemen lain yang sangat penting yaitu kompetisi.
Kompetisi dalam liberalisasi angkutan jalan rel dapat
dilakukan misalnya lewat penyelenggaraan tender untuk memilih pihak swasta yang
akan berperan sebagai operator kereta listrik, misalnya. Lewat proses tender,
perusahaan swasta yang mampu menjanjikan operasi angkutan jalan rel dengan
kinerja terbaik dengan biaya ekonomi terendah yang mencakup besarnya tarif atau
harga tiket yang ditawarkan akan terpilih oleh pemerintah.
Dengan proses kompetisi, idealnya akan tercapai suatu
pelayanan angkutan jalan rel dengan efisiensi tertinggi dengan tarif terendah.
Di dunia, hal ini sudah dilakukan di berbagai negara.
Swedia, misalnya, sudah meliberalisasikan jaringan angkutan jalan lokalnya
sejak 1988. Lewat proses kompetisi tender, masuknya swasta sebagai operator
jaringan kereta lokal telah berhasil meningkatkan efisiensi kinerja angkutan jalan rel yang ditandai dengan
penurunan biaya operasional secara signifikan. Di sisi lain, ketepatan waktu
tiba kereta meningkat yang disertai dengan naiknya 30% jumlah penumpang hanya
dalam waktu 5 tahun setelah dimulainya liberalisasi.
Mengikuti sukses Swedia, Inggris meliberalisasi angkutan
jalan rel nasional pada 1993. Liberalisasi sektor jalan rel di Inggris yang
terjadi secara vertikal, dari penyelenggaraan infrastruktur sampai dengan
operator, memecah British Rail menjadi sekitar 100 perusahaan.
Walau diwarnai dengan catatan suram akibat kecelakaan
beruntun pada awalnya, proses liberalisasi jalan rel di Inggris kini diakui
sebagai kesuksesan yang ditandai dengan naiknya 60% jumlah penumpang sejak 1995
dan ketepatan waktu tiba kereta yang mencapai tingkat 90%.
Yang sangat penting dicatat pada kedua kasus di atas
adalah tingkat kenaikan tarif yang selalu lebih rendah dibandingkan saat jalan
rel masih dipegang oleh perusahaan milik pemerintah. Di satu sisi, hal ini
dapat dicapai berkat sistem kompetisi tender maupun evaluasi berkala yang
dijalankan secara ketat oleh pemerintah, Inggris dan Swedia, dan di sisi lain
fungsi regulator yang secara aktif dijalankan oleh pemerintah untuk menetapkan
batas atas kenaikan tarif.
Risiko Monopoli
Penyelenggaraan angkutan jalan rel Commuter Line
Jabodetabek oleh PT KAI Commuter Line yang merupakan perusahaan swasta
nampaknya perlu dikaji ulang. Proses liberalisasi yang terjadi tanpa adanya
kompetisi beresiko memunculkan adanya monopoli di kemudian hari. Penetapan
kebijakan kenaikan biaya tarif KRL Commuter Line ditengah tentangan banyak
pihak sudah merupakan gejala dari fenomena monopoli tersebut.
Entah kebetulan atau tidak, anjloknya rangkaian kereta ke
arah Jakarta di Stasiun Cilebut hanya 4 hari setelah diberlakukannya kenaikan
tarif, nampaknya juga memberi pengguna KRL suatu alasan untuk meragukan
terjadinya efisiensi KRL Commuter Line.
Selain peninjauan ulang terhadap sistem penunjukan dan
kontrak penyelenggaraan KRL Commuter Line, pemerintah juga seyogyanya meninjau
kembali pasal larangan penggunaan APBN dan APBD untuk mensubsidi
penyelenggaraan Commuter Line di Jabodetabek dalam bentuk Public Service
Obligation (PSO).
Seperti disebutkan pakar transportasi ITB Harun Al-Rasyid
Lubis, dua pertiga pengoperasian perkeretaapian dunia masih membutuhkan
dukungan pemerintah berupa subsidi tahunan karena penjualan tiket kereta belaka
tidak pernah akan dapat menutupi biaya operasi.
Jika PSO atau subsidi dapat kembali diberlakukan, adalah
hak pemerintah sebagai perpanjangan tangan rakyat untuk menjadi regulator,
misalnya dalam hal pembatasan besarnya kenaikan tarif tahunan. Pemerintah
Inggris, misalnya, menetapkan rumusan besarnya inflasi tahunan plus 3% sebagai
batas maksimum kenaikan tarif kereta tahunan.
Jika hal ini diterapkan di Jabodetabek maka untuk jurusan
Jakarta-Bogor misalnya, kenaikan tarif maksimum hanyalah sebesar Rp490.
Joko Purwanto adalah blogger dan peneliti bidang
transport ekonomi di Transport & Mobility Leuven, Belgia.
Sumber : Bisnis Indonesia, 17.10.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar