BISNIS.COM, JAKARTA -- Sistem outsourcing yang dijalankan
oleh beberapa perusahaan di Indonesia dinilai seringkali tidak sesuai dengan
Undang-Undang Ketenagakerjaan.
"Saya melihat sistem outsourcing sering ada di jenis
pekerjaan utama, bukan pekerjaan penunjang. Itu jelas menyalahi Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Hal seperti ini dapat menimbulkan permasalahan
ketenagakerjaan," kata Andari Yuriko Sari, pakar hukum perburuhan Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
Rabu (1/5).
Dia menjelaskan persoalan ketenagakerjaan dalam penerapan
sistem outsourcing yang kerap terjadi justru terkait dengan hak-hak para
pekerja, seperti tidak adanya kepastian kerja bagi pekerja outsourcing karena
hubungan kerja yang tidak jelas.
Andari menyebut
hal itu terjadi karena sebenarnya tidak ada hubungan hukum antara pekerja
outsourcing dan perusahaan pemberi pekerjaan, sehingga tidak ada kepastian
pemenuhan hak dan kewajiban secara langsung antara kedua pihak.
"Jadi, para
pekerja outsourcing sudah pasti sulit untuk mendapat kenaikan upah atau
kenaikan jabatan karena tidak ada perlindungan hukum yang jelas dalam hubungan
kerja itu. Ibarat perkawinan tidak bisa menuntut tanggung jawab," ujarnya.
Masalah lain yang
dihadapi pekerja outsourcing, kata dia, bersinggungan dengan hak untuk
berserikat. Andari menilai pekerja outsourcing cenderung sulit untuk
berserikat.
"Sebagian
besar pekerja outsourcing tidak dapat bergabung dalam serikat pekerja di
perusahaan karena pada dasarnya status mereka bukanlah pekerja tetap dari
perusahaan itu," jelasnya.
Namun, Andari menekankan jika syarat-syarat untuk
melakukan outsourcing tidak dipenuhi dengan baik sebagaimana tercantum dalam UU
Ketenagakerjaan pada pasal 64, 65, dan 66, maka status pekerja outsourcing
dapat beralih menjadi pekerja tetap di perusahaan pemberi pekerjaan. (Antara)
Sumber : Bisnis Indonesia, 01.05.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar