MENJADI nomor satu di dunia tentu merupakan dambaan
setiap negara. Tapi, predikat sebagai yang terbesar, tersibuk, dan terbaik
sudah lama disandang PSA Singapore Terminals. Itu membuat operator pelabuhan di
Indonesia tertarik untuk menirunya.
Port of Singapore Authority (PSA). Ia adalah operator
pelabuhan sekaligus pemegang otoritas untuk mengatur segala hal di pelabuhan.
Tapi, sejak 1997 PSA dikomersialkan sebagai entitas bisnis yang murni. Namanya
pun berganti. Hanya PSA. Tak punya kepanjangan dan tak boleh dipanjangkan.
Sejak saat itu, PSA tidak menjadi operator pelabuhan
Singapura saja. Ia menjadi operator di berbagai pelabuhan dunia. Sekarang PSA
sudah memegang saham 12 pelabuhan besar di dunia. Kesuksesan itu membuat PSA
kian kukuh menyandang predikat sebagai yang terbaik di dunia.
Global CEO PSA International Pte Ltd Tan Chong Meng,
mengakui bahwa perkembangan PSA tidak sebentar. Infrastruktur PSA terus
menyesuaikan perkembangan kapal. Pada dekade 1950-an, kapal terbesar yang bisa
masuk sepanjang 137 meter dengan lebar 17 meter dan draft (bagian yang
tenggelam di air, dihitung dari dasar kapal) 9 meter.
Sejak 2000, perkembangan sedemikian pesat. Kapal Post New
Panamax yang sepanjang 400 meter dengan lebar 59 meter dan draft 15,5 meter pun
bisa dilayani. ”Panjang terminal terus menyesuaikan,” katanya kepada Jawa Pos
(Induk koran ini).
Semakin besar kapal yang dioperasikan, biaya pengiriman
barang menjadi lebih murah. Itulah yang ditangkap pelabuhan Singapura. PSA pun
terus membangun terminal yang bisa disinggahi kapal-kapal besar berkapasitas
hingga 18 ribu TEUs (twenty-foot equivalent unit, setara dengan kontainer
berukuran 20 kaki). Bandingkan dengan pelabuhan Indonesia yang maksimal hanya
bisa disandari kapal 5 ribu TEUs.
Chong Meng mengakui, pelabuhan Indonesia memang tidak
bisa disamakan dengan pelabuhan di Singapura. Soal kapasitas, misalnya.
Pelabuhan Singapura sudah bisa menampung 30 juta TEUs per tahun. Sedangkan di
Tanjung Priok, Jakarta, kapasitas pelabuhan hanya 4,5 juta TEUs. New Tanjung
Priok pun hanya memberi tambahan kapasitas sebesar 4,5 juta TEUs.
Kerja sama itu mungkin. Sebab, pasar PSA dan Pelabuhan
Tanjung Priok berbeda. Selama ini, pelabuhan Singapura hanya menjadi transshipment
atau persinggahan kapal yang akan menuju ke negara lain. Sedangkan Tanjung
Priok ramai sebagai tempat perdagangan untuk pasar Indonesia.
Chong Meng juga mengakui bahwa ekspor-impor Singapura
begitu kecil. Sebab, penduduknya hanya sedikit. Karena itu, Singapura kerap
hanya menjadi persinggahan kapal dari Tiongkok, Jepang, dan Korea yang ingin
mengirim kapal dengan menggunakan kapal yang lebih besar. Sebagian besar (80
persen) menuju Eropa. Sisanya (20 persen) menuju Asia Tenggara.
Chong Meng menyebut, kinerja PSA sejatinya sangat
bergantung ekonomi kawasan. Tapi, soal kualitas, pelabuhan Singapura tak perlu
diragukan lagi. Berbagai peralatan canggih dipasang di pelabuhan itu sejak
lama. Misalnya 192 unit crane untuk mengangkat kontainer dari kapal. Dengan
begitu, setiap kapal yang datang bisa ”dikeroyok” setidaknya oleh lima crane.
Bongkar muat pun lebih cepat. Kalau tiap crane bisa
mengangkut 30 kontainer dalam satu jam, untuk mengosongkan satu kapal besar
yang mengangkut 450–500 kontainer hanya perlu tiga jam. Sekali lagi, bandingkan
dengan Tanjung Priok yang hanya dilayani dua crane per kapal. ”Bagi kami,
kecepatan itu utama,” ungkapnya
Kalau kapal cepat kosong, kapal baru akan lekas datang.
Produktivitas pun menjadi tinggi. Karena itu, tarif pelabuhan di Singapura pun
bisa lebih murah ketimbang pelabuhan lain di dunia.
Tarif rendah dan kecepatan waktu itulah yang membuat
kapal terus berdatangan. Kapal-kapal juga tak perlu antre lantaran sudah
melaporkan kedatangan 3–4 hari sebelum sandar. PSA lantas mengatur jadwal
sandar yang pasti. Operator crane juga sudah bersiap sesuai dengan kapasitas
kapal.
”Ketepatan dan kecepatan waktu itu berharga untuk bisnis.
Itu yang harus ditiru pelabuhan lain,” ungkap dia belum lama ini. Tentu PSA
juga mengaplikasikan sistem teknologi informasi untuk menyinkronkan berbagai
data. Mulai bea cukai, otoritas pelabuhan, operator pelabuhan, hingga
perusahaan freight and forwarding.
Vice President Corporate Affair PSA International
Christopher Chan menambahkan, pelabuhan Singapura juga mengoperasikan
pengontrol jarak jauh (remote control) untuk mengambil kontainer dari lapangan
penumpukan dan meletakkannya di atas truk yang telah siap di tempat tertentu.
”Kami melarang ada manusia lalu lalang di pelabuhan, meskipun itu petugas
pelabuhan atau CEO sekalipun. Demi keamanan,” tegasnya.
Petugas crane ditempatkan di ruang kontrol yang ada di
Kantor Pusat PSA International. Letaknya sekitar dua kilometer dari pelabuhan.
Dengan memasang kamera di crane, petugas bisa menentukan kontainer mana yang
harus diambil dan dibawa menuju truk yang sudah menunggu. ”Itu seperti main
video game saja. Sistem yang simpel, tapi susah untuk menyinkronkan,” ujar dia.
(wir/c11/dos/war/jpnn/ce6)
Sumber : Sumatera Ekspres, 08.05.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar