Bisnis.com, JAKARTA - Pengelola terminal peti kemas
ekspor impor di pelabuhan Tanjung Priok agar mematuhi aturan tentang
pelaksanaan pindah lokasi penumpukan atau relokasi peti kemas impor yang
mengacu pada batasan yard occupancy ratio (YOR) di terminal
peti kemas sudah mencapai 65%, untuk menghindari tersendatnya arus
logistik dan menekan dwelling time.
Ketua
Umum DPP Asosiasi Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara Indonesia (Aptesindo),
Reza Darmawan mengatakan,dibutuhkan komitmen dari
pengelola terminal peti kemas di Pelabuhan Priok yakni: Jakarta International Container
Terminal (JICT), TPK Koja, Mustika Alam Lestari, dan
Multi Terminal Indonesia (MTI) dalam mendorong percepatan dwelling time
dengan menjaga YOR terminal dengan melakukan relokasi ke TPS (tempat penimbunan
sementara) tujuan.
"Kalau YOR terminal asal sudah melebihi 65% sulit
melakukan manuver dilapangan dan berpotensi menyebabkan kepadatan.Kondisi ini
akan mengganggu dwelling time,"ujarnya kepada Bisnis,hari ini, Rabu
(8/10.2014).
Reza mengatakan, Terminal peti kemas atau TPS asal
hendaknya mengoptimalkan fungsi TPS tujuan di Pelabuhan Priok yang saat ini
terdapat 13 lokasi TPS tujuan yang megantongi izin dari Bea dan Cukai setempat
dan beroperasi didalam wilayah pabean pelabuhan Tanjung Priok.
"Kegiatan relokasi peti kemas impor juga sekarang sudah online sistem sejak di pintu
masuk dan keluar. Juga sudah menerapkan single billing yakni billing dari
terminal peti kemas asal,"paparnya.
Dia mengatakan, kegiatan relokasi peti kemas impor sudah
diatur melalui Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub
No:UM.002/38/18/DJPL-II,tahun 2011 yang merujuk pada Standar
Kinerja Pelayanan Operasional Pelabuhan dan Utilisasi Fasilitas di Terminal.
Aturan Kemenhub itu juga di perkuat melalui Peraturan
Dirjen Bea dan Cukai No:28/BC/2013 tentang tata laksana pindah lokasi
penimbunan barang impor yang belum selesai kewajiban pabeannya dari satu tempat
TPS ke TPS lainnya.
Dalam kedua aturan tersebut, kata dia, relokasi peti kemas impor dilakukan saat yard
occupancy ratio di terminal peti kemas atau TPS asal mencapai 65%, atau peti
kemas impor sudah menumpuk lebih dari tujuh hari di terminal peti kemas atau
lini 1 pelabuhan tetapi belum clearance atau mengantongi dokumen surat
pemberitahuan pengeluaran barang (SPPB) dari Bea dan Cukai.
"Namun sampai saat ini kedua aturan itu belum
berjalan maksimal sebab pengelola terminal peti kemas di Priok seringkali
menahan peti kemas impor di container
yard-nya meskipun YOR sudah melebihi ambang batas 65%, atau peti kemas sudah
melewati hari ke 11 di terminal," tuturnya.
Aptesindo,kata dia,berharap regulasi yang sudah
dikeluarkan oleh Bea dan Cukai maupun Ditjen Hubla Kemenhub soal tata cara
relokasi peti kemas impor tersebut dibarengi dengan pengawasan oleh kedua
instansi itu di Pelabuhan Priok.
"Kalau aturannya sudah bagus tetapi implementasinya
tidak dikontrol, regulasi itu bisa tidak berjalan maksimal. Padahal semangat
aturan tersebut untuk melancarkan arus logistik di Pelabuhan,"tuturnya.
Reza mengatakan, sesuai dengan bisnis intinya, pengelola
terminal peti kemas bertanggung jawab terhadap kegiatan bongkar muat peti kemas
dan bukan mengandalkan bisnis storage di lini 1 pelabuhan.
Dia mengungkapkan, saat ini biaya pindah lokasi
penumpukan atau relokasi peti kemas impor di Pelabuhan Priok untuk ukuran 20
kaki Rp.900.000/bok sedangkan untuk ukuran 40 kaki Rp.1.050.000/bok.
"Jadi untuk menekan dwelling time di Priok semua
pihak mesti konsisten dengan aturan yang sudah dikeluarkan,"ujarnya.
Aptesindo juga mengusulkan supaya pedoman tarif dan
kegiatan relokasi kargo breakbulk (non peti kemas) ditata ulang untuk
menghindari penyelewengan tarif di lapangan. "Kami juga akan mengusulkan
kepada Manajemen Pelindo II Tanjung Priok agar memanfaatkan lahan eks kawasan
berikat nusantara (KBN) di Pelabuhan Priok untuk menampung kegiatan relokasi
kargo breakbulk dari terminal 3 pelabuhan Priok," ujarnya.
Reza mengatakan, saat ini terdapat 4 Ha lahan eks KBN di
Pelabuhan Priok yang masih bisa dioptimalisasikan sebagai buffer/pendukung
aktivitas jasa kepelabuhanan. "Lahan eks KBN di Priok itu juga baru
selesai proses pengerasan fisik dan kini
sedang dalam proses perizinan sebagai TPS,"ujar dia.
Sumber : Bisnis Indonesia, 08.10.14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar