Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
memastikan bahwa argumentasi mengenai potensi kebocoran impor tekstil
dan produk tekstil (TPT) yang dilakukan melalui pusat logistik berikat (PLB)
tidak bisa dibenarkan.
Selain kewenangan izin impor yang berada di kementerian
lain, proses pengawasan barang yang masuk ke PLB juga dilakukan secara lebih
ketat. Semua barang atau 100% barang yang masuk ke PLB sudah pasti akan
diperiksa, apalagi masa penampungan barang ke PLB juga relatif lebih lama yakni
3
tahun.
"Ini berbeda dengan yang impor lewat pelabuhan.
Karena barang ada di pelabuhan maksimal 30 hari, proses pemeriksaannya tidak
sedetail di PLB yang bisa dilakukan berulang-ulang," kata Kepala
Seksi Tempat Penimbunan Berikat Ditjen Bea dan Cukai Irwan atas seizin
Direktur Fasilitas Kepabeanan dan Cukai DJBC Oentarto Wibowo kepada Bisnis.com,
Rabu (10/10/2019).
Irwan menjelaskan bahwa saat ini total impor TPT yang
berasal dari hanya 4,1%. Data Bea Cukai menunjukkan bahwa total impor TPT yang
berasal dari PLB hanya US$147 juta, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan
impor yang secara umum sebesar US$617 juta atau 17,1% atau kawasan berikat (KB)
yang mencapai US$2,8 miliar atau 78,9%.
Dengan jumlah tersebut, lanjut Irwan, sangat tidak
mungkin jika kalaupun ada kebocoran di PLB mempengaruhi produksi dalam negeri,
apalagi jika dibandingkan dengan jumlah importasi secara umum atau yang
dilakukan di kawasan berikat.
Irwan juga mengatakan bahwa rujukan masuknya barang ke
PLB berasal dari kuota impor yang diberikan oleh Kementerian Perdagangan.
Otoritas berdasar kuota tersebut akan mengecek kebenaran kuota barang yang
masuk ke PLB.
"Kalau kuotanya 1.000 misalnya, kamis pastikan 1.000
yang masuk, kalau lebih ya kami tutup," ungkapnya.
Selain itu, ketentuan yang berlaku di dalam PLB, untuk
barang dalam kategori A atau yang sudah diproduksi di Indonesia sehingga perlu
kuota impor. Sementara itu, untuk barang dengan kategori B, adalah barang TPT
yang belum diproduksi di dalam negeri.
Dengan demikian, barang untuk kategori A mekanisme impornya
memerlukan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, persetujuan impor dan
kuota dan Kemendag, termasuk laporan surveyor, sedangkan kategori B, cukup LS
atau laporan surveyor.
Menurut Irwan, ada beberapa kondisi yang kemungkinan
menyebabkan banjirnya barang TPT dari luar negeri, salah satunya adalah tidak
jelasnya peta kebutuhan industri terhadap impor TPT. Kondisi menyebabkan barang
yang diimpor tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
"Karena itu perlu menyusun kapasitas produksi
nasional untuk menentukan kuota impor TPT yang tepat sasaran. Misalnya seperti
beras jelas kuota dan kebutuhannya," tegasnya.
Adapun informasi yang dihimpun Bisnis.com menyebutkan
bahwa lonjakan impor TPT terjadi pada barang dengan kode HS5804, 5808, 5810,
dan 5802 yaitu kain embroidery, renda, net, dan lace yang masuk dalam kategori
barang kelompok B dan belum diproduksi di Indonesia.
Namun kenyataanya, barang-barang yang sesuai dengan HS
tersebut sudah diproduksi di Indonesia. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
adanya pengelompokan barang yang tidak tepat. Catatan Bisnis.com, perusahaan
yang telah memproduksi jenis TPT tersebut sebanyak 14 perusahaan.
Sumber : Bisnis, 11.10.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar