KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengingatkan
bahwa risiko cryptocurrency masih sangat besar bagi perekonomian Indonesia.
BI menyebut ada lima
risiko besar yang harus dihadapi dengan meningkatnya transaksi cryptocurrency
di Indonesia
Rosalia Suci
Handayani, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Hukum BI, mengungkapkan risiko cryptocurrency ini dalam diskusi
daring yang digelar oleh Asian Law Students' Association Local Chapter (Alsa
Lc) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sabtu (29/5) pekan lalu.
Pertama, risiko sistem
pembayaran dan pengelolaan uang rupiah apabila cryptocurrency atau crypto asset
digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia,
Kedua, risiko capital
outflow yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter Bank Indonesia dengan
meningkatnya transaksi cryptocurrency di Indonesia.
Ketiga, risiko
stabilitas sistem keuangan dalam hal transaksi crypto asset semakin membesar
dan kompleks serta melibatkan perbankan akibat maraknya cryptocurrency ini.
Keempat, lonjakan transaksi
cryptocurrency di Indonesia juga menyebabkan risiko pelanggaran prinsip Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT)
Kelima, BI juga
menyoroti risiko pelanggaran perlindungan konsumen dan perlindungan data
pribadi juga sangat besar dengan maraknya cryptocurrency ini.
Karena itu BI
mengharapkan perlu ada pengaturan dan pengawasan ketat dari Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) terkait perdagangan aset crypto dan
cryptocurrency ini.
BI tetap melarang
Bank Indonesia (BI)
menyatakan dalam sepuluh tahun ke depan bank sentral tidak berencana untuk
memberikan izin penggunaan aset kripto, alias cryptoasset dipergunakan sebagai
alat pembayaran atau mata uang digital yang sering disebut dengan
cryptocurrency.
Sebab, BI menilai masih
banyak pertimbangan yang harus dilakukan agar cryptocurrency tidak memberikan
dampak buruk bagi perekonomian Indonesia dan masyarakat.
"Kalau view kami
di BI, sekarang dan sampai 10 tahun ke depan tidak akan membolehkan
cryptocurrency di luar bank sentral, menjadi alat pembayaran yang sah di
Indonesia," katanya.
Menurut Rosalia, untuk
menjadikan cryptocurrency sebagai alat pembayaran, penerbit harus
memperhitungkan dengan supply dan demand atas barang dan jasa di satu negara
tersebut.
Sampai saat ini
cryptocurrency tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dan tidak boleh
digunakan sebagai alat pembayaran karena bertentangan dengan UU No 7 tahun 2011
tentang Mata Uang.
UU Mata uang menyatakan
bahwa Rupiah adalah satu satunya mata uang yang sah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang
dilakukan di wilayah NKRI. Karena itulah cryptocurrency tidak bisa memenuhi
persyaratan yang diatur dalam UU ini.
"Satu-satunya alat
pembayaran yang sah adalah rupiah," katanya dalam diskusi bertajuk Crypto
Law & Regulations in Indonesia.
Karena itulah BI
menegaskan hingga kini melarang seluruh penyelenggara sistem pembayaran,
penyedia infrastruktur pembayaran dan penyelenggara teknologi finansial di
Indonesia baik bank dan lembaga selain bank untuk memproses transaksi
pembayaran dengan virtual currency, atau cryptocurrency.
Larangan BI untuk
menggunakan cryptocurrency ini seperti diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang
Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
Selain itu ada juga PBI
No 19 /12/PBI tentang penyelenggaraan Teknologi Finansial yang juga menegaskan
bahwa cryptocurrency bukanlah alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Adapun dasar hukum
mengapa cryptocurrency masih bisa diperdagangkan di Indonesia saat ini karena,
mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)
No 5 Tahun 2019, tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset
Kripto,
Pada aturan tersebut
mendefinisikan aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk
digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer to peer, dan buku besar
yang terdistribusi untuk mengatur unit baru, memverifikasi transaksi, dan
mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.
Artinya aturan tersebut
juga menegaskan tidak membolehkan cryptocurrency sebagai alat pembayaran,
melainkan sebagai komoditas.
Sementara berdasarkan
Undang Undang No 32 Tahun 1997 mengatur tentang Perdagangan Berjangka Komoditi
yang telah diubah dengan UU No 10 Tahun 2011, Bappebti memiliki kewenangan
untuk menetapkan komoditi berjangka melalui Peraturan kepala Bappebti.
Oleh karena itu,
pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 99
tahun 2018 tentang kebijakan umum penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset
Kripto.
Dengan aturan ini maka kegiatan
usaha aset kripto atau crypto asset diatur dan diawasi oleh Bappebti.
Pada kesempatan itu,
Rosalia juga menegaskan bahwa aset crypto maupun cryptocurrency ini tidak
tergolong sebagai uang elektronik di Indonesia.
Sebab berdasarkan Pasal
15 UU No tentang Bank Indonesia, menegaskan BI merupakan otoritas yang
berwenang mengatur menjaga kelancaran sistem pembayaran.
Adapun uang elektronik
merupakan alat pembayaran di Indonesia, bukan seperti cryptocurrency sehingga
aktivitas penerbitan uang elektronik diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia.
Saat ini uang
elektronik diatur dalam PBI No 20/6/PBI/2018 tentang uang Elektronik dan
ketentuan pelaksanaannya. Namun BI juga menerbitkan PBI no 22 /23/PBI/2020
tentang sistem Pembayaran.
Mulai 1 Juli 2021
terdapat beberapa ketentuan uang elektronik yang akan mengalami penyesuaian.
Sementara mengacu pada
PBI No 20/6/PBI/2018, tentang Uang Elektronik, uang elektronik di definisikan
sebagai instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut'
Diterbitkan atas dasar
nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit
Nilai uang disimpan
secara elektronik dalam suatu media server atau chip
Nilai uang elektronik
yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Implikasi aset crypto
dan cryptocurrency terhadap kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah, Rosalia,
memandang perlu ada penguatan koordinasi
antarkementerian dan lembaga terkait termasuk
BI.
Koordinasi ini
bertujuan untuk memitigasi risiko perdagangan aset crypto dan cryptocurrency di
Indonesia
"Perlu koordinasi
yang kuat antara pemerintah termasuk Bappebti dengan lembaga terkait termasuk
Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK)," katanya.
Melebihi pasar modal
dan menggiurkan investor muda yang suka tantangan, anak muda tantangan
investasi cryptocurrency.
Rosalia, melihat ada beberapa
risiko crypto asset maupun cryptocurrency yang perlu menjadi perhatian bersama.
Sumber : Kontan,
01.06.2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar