Bisnis.com,JAKARTA—
Untuk mengerti keadaan ekonomi global saat ini, mari lihat kembali ke masa 80
tahun yang silam, begitu kira-kira yang ditulis di laman Bloomberg.
Sebuah
tulisan di Bloomberg menyebutkan, persis sama seperti yang terjadi pada
masa 1930
an, pertumbuhan eknomi global dihalangi oleh para perusahaan yang enggan untuk
melakukan belanja, jatuhnya prediksi inflasi, dan pemerintah yang enggan
menggelontorkan stimulus fiskal.
Sementara
itu, pemicu kelesuan yang terjadi saat ini adalah krisis finansial yang berujung pada jeratan
utang dan deleveraging (upaya untuk mengurangi rasio utang dalam neraca
keuangan) ditengah peraturan perbankan yang ketat dan memburuknya tekanan deflasi.
Berdasarkan
analisis para ekonom Morgan
Stanley yang dipimpin oleh Chetan Ahya , ini sama dengan shock
yang mengawali krisis pada 1930.signifikan dengan keadaan pada 1930 dan
pengalaman yang ada pada saat itu sangat relevan dengan yang ada saat ini.
Kesamaan yang sangat penting antara keadaan pada 1930an dengan 2008 adalah
bahwa shock keuangan dan utang yang relatif tinggi mengubah
sikap risiko sektor swasta dan memicu mereka untuk memperbaiki neraca mereka,”
ujar para ekonom tersebut seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (17/6/2016).
Sama
halnya pada waktu itu, hasil akhir yang didapat bisa berupa pelemahan
berkepanjangan dan ekspektasi inflasi terkendali. Bahayanya, para bank sentral
bergerak terlalu cepat menaikkan suku bunga atau pemerintah bertindak mengurangi pengeluaran. Hal ini
memicu perlambatan menjadi lebih dalam.
“Pada 1930-1937, tindakan pengetatan
kebijakan yang terlalu dini dan tajam menyebabkan double-dip pada ekonomi
AS, yang menyebabkan kambuhnya resesi dan
deflasi pada 1983. Sama halnya, dalam siklus yang terjadi saat ini,
seiring dengan pulihnya pertumbuhan, para pembuat kebijakan mulai mengetatkan
kebijakan fiskal yang kemudian berkontribusi terhadap perlambatan petumbuhan
dalam beberapa kuartal terakhir,” tulis para analis tersebut.
Namun,
tidak semua negara bergerak mengetatkan kebijakan mengingat pesimisme
pertumbuhan global. Pada awal bulan ini, Wolrd Bank memangkas prospek
pertumbuhan gobal seiring dengan menurunnya belanja pebisnis di negara-negara
maju termasuk Amerika, sementara eksportis komoditas di negara berkembang
berjuang untuk menyesuaikan diri dengan harga yang rendah.
PDB
dunia diprediksi akan bertumbuh 2.4% tahun ini, tidak berubah dari keadaan di
2015 dan turun dari perkiraan yang dibuat pada Januari tahun ini sebesar 2.9%.
Keadaan
ini kemudian memicu perdebatan tentang bagaimana seharusnya reposn yang dibuat
melalui kebijakan. Sebagai contoh, di Amerika, langkah The Fed yang menaikkan
suku bunga pada Desember lalu untuk pertama kalinya dalam sembilan tahun terakhir
memicu kritik yang menyebutkan kenaikan tersebut terlalu cepat mengingat
prospek inflasi yang terkendali. Mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers
berpendapat bahwa The Fed tidak harus menaikan suku bunga terlalu dini.
Di
waktu yang sama, Kepala keuangan negara-negara dengan ekonomi tertinggi
berjanji pada Februari bahwa pemerintah mereka akan lebih berusaha untuk memicu
permintaan. Sejak saat itu, bank-bank sentrallah yang terus mendorong
pertumbuhan dengan cara melakukan pelonggaran mulai dari Australia hingga
Eropa.
Menurut
Analis Morgan Stanley untuk menghindari penurunan kembali, pemerintah perlu
melangkah.
“Mengaktifkan kebijakan fiskal, terutama pada
saat kebijakan moneter masih akomodatif, memungkinkan terjadinya siklus yang
baik dimana para sektor korporasi membutuhkan investasi swasta dan menopang
penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan,” tulis mereka.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 17.06.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar