KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan manufaktur
dari sektor industri sarung tangan karet dan gelas gulung tikar karena tak kuat
menanggung biaya produksi yang tinggi. Salah satunya karena tertekan harga
gas industri.
Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, pabrik sarung tangan seperti PT
WRP Buana Multicorpora, PT Indiglove, PT Mandiri Inti Buana, PT Smart Gloves,
PT Abergummi Medical, PT Irama Dinamika Latek, PT Citra Latek Lestari, PT
Gotong Royong dan PT Hamko Pratika tutup produksi. Beberapa pelaku industri sarung
tangan karet kemudian berinvestasi di Vietnam.
Harga gas untuk industri sarung
tangan di plant gate selama kurun waktu 2014-2019 naik sebesar 31,6% menjadi
US$ 9,95-US$ 10,89 per mmbtu. Imbasnya yakni tahun lalu kapasitas produksi
sarung tangan dalam negeri turun 29,4% menjadi 23,6 juta potong per hari.
Sementara di sisi lain, impor sarung tangan mencapai US$ 30,65 juta atau naik
48,9% ketimbang caatan tahun 2014 yang sebesar US$ 20,59 juta.
Empat pabrik gelas juga tercatat
tutup produksi dalam rentang tahun 2014-2019. Keempatnya meliputi KIG Jakarta, Iglass Surabaya yang sudah beroperasi 30 tahun, FNG Jakarta dan Samudera
Kudus.
Dalam periode yang sama, produksi
industri gelas turun 38,2% menjadi 0,77 juta ton per hari karena harga gas naik
21,2% menjadi US$ 9,16 per mmbtu. Impor gelas dari Malaysia lantas meningkat
12,7% menjadi US$ 101,8 juta pada tahun lalu. "Industri gelas Indonesia
sebelumnya merupakan salah satu dari dua yang terbesar di kawasan Asia Tenggara
tapi harga gas yang mahal membuat Indonesia kalah dari Malaysia," ungkap
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam RDP Virtual bersama Komisi VII, Senin (4/5).
Sumber : Kontan, 05.05.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar