JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla memandang, publik umumnya mengenal Pertamina bukan sebagai produsen sekaligus penjual minyak, melainkan hanya sebagai penjual minyak layaknya makelar. Ini disebabkan banyaknya blok-blok migas di Indonesia yang dikuasai sekaligus dikelola asing, sementara blok migas yang dikuasai Pertamina tidak sebanyak asing.
"Memang Pertamina itu karena karakternya semacam makelar saja. Jadi Pertamina semacam owner saja. tapi yang bekerja ya kontraktornya (Asing), seperti Shell, Chevron, Petronas, Total , dan lain-lain. Sekarang maka dari itu kita tidak bisa begitu lagi karena harus bagi-bagi hasil," tuturnya pada seminar di Gedung Nusantara 5 MPR, Jakarta, Selasa (17/7/2012).
Kalla menuturkan, teknologi serta modal yang dimiliki Pertamina memang belumlah sekuat Shell, Total, maupun Chevron. Namun menurut Kalla, Pertamina mempunyai salah satu upaya, yakni menguasai blok-blok minyak yang sudah berusia 25 tahun, terutama blok-blok migas yang kontraknya telah habis masa berlakunya.
Ini sesuai dengan pasal 28 ayat 9 PP No. 35/2004 yang menegaskan, PT Pertamina dapat mengajukan permohonan jepada Menteri untuk wilayah kerja yang habis jangka waktu kontraknya. Lala, pada pasal 33 UUD 1945 bahwa SDA harus dikuasai negara sebesar-besarnya guna kemakmuran rakyat.
"Seharusnya Pertamina menjadi tulang punggung negara dalam meningkatkan produktivitas kebutuhan energi dalam negeri." tutur Kalla.
Kalla juga mengatakan, Pertamina harus siap dan mampu jika akhirnya pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap blok- blok yang masa kontraknya sudah habis. "Jika siap tapi tidak mampu, minyaknya dijual saja ke orang lain," kata Kalla.
Sedangkan jika Pertamina mampu namun belum siap, JK mengkhawatirkan, produktivitasnya akan menurun. Lalu, jika yang menjadi kendala adalah teknologi, teknologi pun bisa dibeli.
Jika pemerintah melakukan nasionalisasi tanpa adanya kesiapan teknologi, Kalla mencemaskan Indonesia kelak hanya akan jadi pengimpor minyak.
Sumber : Kompas, 17.07.12.
"Memang Pertamina itu karena karakternya semacam makelar saja. Jadi Pertamina semacam owner saja. tapi yang bekerja ya kontraktornya (Asing), seperti Shell, Chevron, Petronas, Total , dan lain-lain. Sekarang maka dari itu kita tidak bisa begitu lagi karena harus bagi-bagi hasil," tuturnya pada seminar di Gedung Nusantara 5 MPR, Jakarta, Selasa (17/7/2012).
Kalla menuturkan, teknologi serta modal yang dimiliki Pertamina memang belumlah sekuat Shell, Total, maupun Chevron. Namun menurut Kalla, Pertamina mempunyai salah satu upaya, yakni menguasai blok-blok minyak yang sudah berusia 25 tahun, terutama blok-blok migas yang kontraknya telah habis masa berlakunya.
Ini sesuai dengan pasal 28 ayat 9 PP No. 35/2004 yang menegaskan, PT Pertamina dapat mengajukan permohonan jepada Menteri untuk wilayah kerja yang habis jangka waktu kontraknya. Lala, pada pasal 33 UUD 1945 bahwa SDA harus dikuasai negara sebesar-besarnya guna kemakmuran rakyat.
"Seharusnya Pertamina menjadi tulang punggung negara dalam meningkatkan produktivitas kebutuhan energi dalam negeri." tutur Kalla.
Kalla juga mengatakan, Pertamina harus siap dan mampu jika akhirnya pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap blok- blok yang masa kontraknya sudah habis. "Jika siap tapi tidak mampu, minyaknya dijual saja ke orang lain," kata Kalla.
Sedangkan jika Pertamina mampu namun belum siap, JK mengkhawatirkan, produktivitasnya akan menurun. Lalu, jika yang menjadi kendala adalah teknologi, teknologi pun bisa dibeli.
Jika pemerintah melakukan nasionalisasi tanpa adanya kesiapan teknologi, Kalla mencemaskan Indonesia kelak hanya akan jadi pengimpor minyak.
Sumber : Kompas, 17.07.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar