Bisnis.com,
JAKARTA - Kasus perselisihan antara Apple Inc. dan Pemerintah Amerika Serikat (AS)
tampaknya masih berbuntut panjang. Setelah mendapat tuntutan dari Biro
Investigasi Federal (FBI) terkait dengan pembukaan kode enkripsi iPhone, kini Apple harus menelan kekalahan di Mahkamah
Agung AS atas kasus monopoli e-book.
Perusahaan
yang didirikan oleh Steve Jobs, Ronald Wayne dan Steve Wozniak ini
akhirnya harus membayar denda US$450 juta, setelah Mahkamah Agung
menolak upaya banding Apple terhadap tuntutan dari Departemen Kehakiman AS
sejak 2014.
Total
nilai denda tersebut terdiri dari US$400 juta untuk kompensasi konsumen e-book
yang telah dirugikan oleh Apple, US$20 juta untuk negara, dan US$30 juta untuk
biaya administrasi hukum.
“Kewajiban
Apple yang sengaja bersekongkol dengan penerbit buku dalam menaikkan harga
e-book, dan dugaan monopoli, telah selesai dan berlaku mutlak untuk semuanya,”
kata Asisten Jaksa Agung Bill Baer, Selasa (8/3/2016).
Kasus
gugatan upaya monopoli sejumlah produk e-book yang dialamatkan ke Apple ini telah
berlangsung sejak 2011. Gugatan bermula ketika para penerbit buku di AS
mendapati harga e-book dari lima penerbit terkemuka dijual dengan harga yang
tinggi di Apple iBook-store.
Kelima
penerbit raksasa tersebut adalah Hachette Book Group Inc., HarperCollins
Publishers LLC, Simon & Schuster Inc., Pearson Plc. Penguin Group dan
Macmillan yang merupakan unit usaha dari Verlagsgruppe Georg von Holtzbrinck
GmbH.
Apple
berdalih, harga yang tinggi tersebut merupakan celah bisnis baru, untuk memberi
keuntungan baik untuk penerbit maupun penulis. Untuk itu, Apple membiarkan
penerbit menentukan harga mereka sendiri dengan pembagian keuntungan yang juga
jauh lebih besar untuk penerbit.
Menurut
Apple, strategi bisnis tersebut akan mengurangi kebiasaan para pelanggan yang
cenderung mengandalkan buku murah dan diskon, yang tak menguntungkan penerbit.
Kondisi ini membuat kelima penerbit besar tersebut memilih mendistribusikan
bukunya melalui iBookstore saja.
Namun,
strategi tersebut dinilai membunuh para penerbit kecil lainnya dan juga toko
ritel lain seperti Amazon.com yang menjadi salah satu distributor e-book murah
terbesar di AS.
Situasi
ini membuat Departemen Kehakiman mengajukan gugatan pada 2011 atas dukungan
pelanggaran undang-undang antimonopoli. Kasus ini pun akhirnya diungkap di
pengadilan Manhattan pada 10 Juli 2014.
Hakim
Denise Cote, yang memimpin persidangan, mengatakan telah menemukan bukti kuat
adanya konspirasi antara Apple dan lima penerbit besar untuk membatasi harga
ritel dan kenaikan harga e-book.
Dengan
demikian, Apple dianggap telah melanggar undang-undang anti-monopoli. Dalam
gugatannya, Departemen kehakiman menyebut Apple telah berkonspirasi dengan lima
penerbit besar untuk mengurangi pasokan e-book ke Amazon.
Kurangnya
pasokan ke Amazon tersebut membuat iBookstore memiliki celah untuk menaikkan
harga buku-bukunya, karena Apple menjadi satu-satunya distributor yang memiliki
pasokan.
Apple
dan lima penerbit tersebut akhirnya menaikkan harga produk tersebut menjadi
US$13–US$15, dari harga yang biasa dijual di Amazon yang hanya mencapai
US$9–US$10.
Langkah
Apple ini ditengarai sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat mengingat
posisi Amazon sebagi toko ritel yang menguasai pangsa pasar e-book hingga 90%.
Sementara itu, harga buku best seller keluaran lima penerbit tersebut bisa
meroket hingga 40%.
KONSPIRASI
Hakim
Cote memutuskan bahwa Apple berperan besar dalam konspirasi dengan lima
penerbit tersebut. Departemen Kehakiman dalam hal ini menjadi wakil dari
konsumen di 33 negara bagian AS yang meng-ajukan gugatan terhadap Apple.
Menurut
Cote, Apple bersama dengan para penerbit telah terbukti menaikkan harga e-book
dan mempersiapkannya dengan sedemikian rupa. Tanpa adanya campur tangan Apple
dalam konspirasi ini, harga e-book tidak akan setinggi itu.
Cote
merujuk pada pernyataan akhir dari pendiri Apple, Steve Jobs, dalam sebuah
acara launching iPad. Saat itu, Jobs ditanya mengapa seseorang mau membeli buku
melalui iBookstore denga harga US$14,99 ketika buku-buku lain tersedia di
Amazon dengan harga US$9,99.
“Jobs
berhenti berbicara yang disusul dengan anggukan, dia lalu berkata bahwa
sebenarnya harga produk tersebut sama. Namun penerbit cenderung menahan pasokan
buku-buku mereka ke Amazon karena mereka tidak senang dengan harga yang ditetapkan
Amazon,” kata Cote dalam catatannya.
Namun,
putusan di pengadilan Manhattan tersebut ditolak oleh Apple. Perusahaan yang
berbasis di California ini pun mengajukan banding menolak tuduhan konspirasi
bersama lima penerbit ternama tersebut.
Apple
beralasan, dengan adanya pola bisnis tersebut, justru membuat penjual-an produk
buku di lima penerbit tersebut naik, dan para pengecer baru mulai melihat celah
bisnis baru, setelah sebelumnya bisnis produk e-book ini hanya didominasi oleh
Amazon.
Berbeda
dengan Aple, kelima penerbit justru menerima putusan pengadilan Manhattan
tersebut, dan bersedia membayar denda dan ganti rugi dengan nilai hingga US$166
juta. Pasalnya kelima penerbit ini sadar, potensi denda dan kerugian yang jauh
lebih besar mungkin terjadi dalam proses banding ke Mahkamah Agung AS.
Kekhawatiran
para penerbit kenamaan tersebut ternyata menjadi kenyataan. Apple akhirnya
harus membayar denda dan diminta untuk memberikan kredit kepada para pelanggan
iBookstore, atas kelebihan harga buku yang di atas harga pasaran selama ini.
Sebelum
kasus ini, FBI juga meminta Apple untuk membuka kode enkripsi produk iPhone 5c
milik Syed Ridwan Farook pada Februari 2016. Farook merupakan terdakwa kasus
penembakan 14 orang yang mengakibatkan kematian di San Bernardino, California
pada Desember 2015.
Namun,
permintaan FBI ini ditolak oleh Apple, karena berpotensi mengganggu privasi
para konsumen. Akibatnya Apple dituntut oleh FBI karena dinilai membatasi
penyelidikannya. FBI juga meminta Kongres AS untuk terlibat dalam penyelesaian
perdebatan ini.
Baru-baru
ini, calon presiden Donald Trump pun turut mendukung FBI untuk meminta Apple
membuka kode enkripsi iPhone. Dia bahkan mengajak masyarakat AS untuk memboikot
produk Apple.
Kondisi
ini tentu saja menjadi pukulan telak lain bagi perusahaan yang memiliki nilai
kapitalisasi pasar hingga US$534,7 miliar. Perlambatan penjualan produk iPhone
di China disebut menjadi penyebab terbesar pendapatan Apple cenderung melambat
2015. (Blomberg/Reuters).
Sumber
: Bisnis Indonesia, 10.03.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar