JAKARTA.
Peluang pengusaha domestik untuk bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
bisa semakin terkikis karena masih banyaknya tumpang tindih perizinan di
tingkat kabupaten dan kota, yang pada akhirnya menggerogoti daya saing barang
produksi domestik.
Direktur
Keuangan Negara dan Analisa Moneter Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas Sidqy L.P Pangesti kepada Antara di Jakarta, Rabu,
mengatakan di era pemberlakuan MEA tahun ini, justru pengusaha dalam negeri masih
terbebani dengan birokrasi dan perizinan yang rumit di tingkat pemerintah
daerah.
Sementara,
pengusaha asing dari Asia Tenggara justeru mendapat
berbagai fasilitas seperti relaksasi peraturan dan akses seperti yang
dijanjikan dalam MEA untuk masuk ke Indonesia.
"Bagaimana
mau bersaing? Produk negara lain tidak dapat pungutan, sementara produk kita
sendiri mendapat banyak syarat yang membebani biaya operasional seperti
perizinan di kabupaten," kata Sidqy.
Sidqy
mengatakan, berdasarkan kajiannya, banyaknya perizinan di tingkat
kabupaten/kota rata-rata telah menyumbang 30%-40% biaya operasional pengusaha.
Dengan
begitu, tidak aneh, barang produksi dalam negeri di distributor atau ritel
dibanderol dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding barang luar negeri.
Hal
ini, kata Sidqy, hampir terjadi pada semua komoditas. Misalnya, kata dia, harga
jeruk hasil sentra produksi di Medan, Sumatera Utara, harus melewati birokrasi
perizinan di 53 kabupaten/kota sebelum jeruk tersebut dapat diperjualbelikan di
Jakarta.
Sementara,
jeruk dari Tiongkok cukup melewati satu perizinan di Ditjen Bea Cukai, sebelum
dipasarakan di Jakarta.
"Gimana
masyarakat tidak memilih yang impor. Kualitas tidak beda jauh, tapi harganya
jomplang," ujarnya.
Dia
menekankan pemerintah daerah, dibantu pemerintah pusat, harus menghapus
banyaknya perizinan tersebut. Menurutnya, banyak daerah yang sengaja memungut
banyak iuran berbalut perizinan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Padahal,
di APBN 2016, pemerintah pusat sudah menganggarkan insentif, termasuk salah
satunya Dana Alokasi Khusus (DAK) Infrastruktur Publik yang maksimal
Rp100 miliar bagi kabupaten/kota.
Maka
itu, Sidqy mengusulkan agar terdapat syarat bahwa daerah yang ingin mencairkan
DAK Infrastruktur Publik tersebut harus memangkas birokrasi dan perizinannya
seefisien mungkin.
"Ini
bisa jadi insentif untuk pembenahan," ujarnya.
Bappenas
mencatat terdapat total 42 ribu regulasi baik berupa Peraturan Presiden, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri dan Peraturan Tingkat Daerah. Sebagian
besar dari puluhan ribu regulasi itu adalah peraturan yang tumpang tindih atau
peraturan yang berulang.
Bappenas
mencatat perizinan di sektor hulu minyak dan gas bumi saja mencapai 200
perizinan.
Selain
hambatan birokrasi tersebut, Sidqy juga meminta struktur tata kelola niaga
dibenahi.
Menurutnya,
struktur tata niaga saat ini, lebih menguntungkan pengusaha di bidang
distribusi, bukan produksi. Sehingga, pengusaha bidang produksi tidak mendapat
insentif untuk terus melakukan usahanya.
Sumber
: Kontan, 21.01.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar