28 Januari 2020

[280120.ID.BIZ] Keikutsertaan RI Di Rantai Nilai Global Tak Seimbang


Bisnis.com, JAKARTA - Partisipasi Indonesia dalam sistem rantai nilai global (global value chain) dinilai tak seimbang lantaran kontribusinya lebih banyak bersumber dari produk komoditas.

Chief Economist East Asia and Pacific  World Bank Aaditya Mattoo melihat keikutsertaan Indonesia dalam rantai nilai global memiliki sejumlah sisi yang saling bertolak belakang.

Menurutnya, sebagai pengekspor komoditas mentah seperti minyak kelapa sawit dan batubara, partisipasi Indonesia cukup tinggi dan berkembang di rantai nilai global.

Namun, sebagai importir bahan kain dan besi baja yang masing-masing digunakan sebagai bahan baku untuk produksi pakaian jadi dan kendaraan roda empat, partisipasi Indonesia rendah dan cenderung melemah.

“Hal ini terlihat dari proporsi ekspor untuk produk pakaian jadi, elektronik, dan suku cadang mobil ke negara-negara maju menurun, sementara ekspor produk serupa dari negara tetangga Indonesia meningkat,”ujarnya, di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (28/1/2020)

Menurutnya, partisipasi ke depan (forward participation) pada komoditas mentah menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Di sisi lain, lemahnya partisipasi ke belakang (backward participation) di industri manufaktur mencerminkan tidak efektifnya upaya menopang transisi ke industri manufaktur dan jasa pada tahap yang lebih maju.

Kelemahan Indonesia dalam memanfaatkan rantai nilai global juga semakin dipersulit oleh tingginya biaya transportasi. Penyebabnya adalah peraturan yang membebani dan distorsi dalam harga pelabuhan (port pricing).

Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan mengatakan sebetulnya sudah sejak lama pemerintah mengetahui pentingnya agar Indonesia masuk di GVC

“Kan tidak mungkin [produksi] semua [produk] ditaruh di satu negara dan kedua tidak mungkin [berpindah ke RI] karena mereka sudah investasi di tempat lain. Nah itu mereka [Bank Dunia] mengharapkan seperti lebih realistis. Supaya kita main di global value chains. Karena kita pasti akan impor, tidak mungkin kita bikin semuanya di Indonesia. Pasti itu dibagi-bagi. Kalau menurutku pemerintah Indonesia sudah tahu,” katanya.

Dia mencontohkan seperti halnya Toyota. Meski memiliki basis atau pabrik di Indonesia. Namun Toyota masih perlu mengimpor beberapa komponen dari negara lain seperti Vietnam, Thailand dan Jepang.

“Contohnya Toyota, di Indonesia kan ada basisnya. Nanti komponennya kita dapat dari Vietnam, Thailand dan Jepang. Itu kan GVC. Sekali kita masuk di GVC itu gampang. Pasti ekspor. Tapi kalau kita belum masuk susah,” imbuhnya.

Sementara itu, terkait dengan posisi Indonesia yang masih terjebak di kategori limited manufacturing, Johnny mengatakan tidak semua sektor berada di posisi tersebut. Dia mencontohkan produk minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan otomotif, Indonesia jauh lebih unggul dibandingkan dengan Thailand.

“Begini, kalau menyeluruh memang kita banyak tertinggal. Tetapi kalau sector by sector kita ada yang lebih jauh contohnya otomotif kita gak kalah sama Thailand. Kalau agro seperti CPO kita lebih canggih, saingan kita saat ini Malaysia. Tapi memang ada industri kita yang sangat low,” katanya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menuturkan  selama ini pemerintah sudah berencana melakukan perbaikan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam skema GVC. Salah satunya dengan membenahi sejumlah regulasi melalui kebijakan omnibus law.

“Ini memang sudah dibahas ditingkat nasional, makanya Kemenko Perekonomian maka saat ini sedang menyusun Omnibus Law yang akan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan terutama dikaitkan dengan kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Oke.

Adapun, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan keyakinannya bahwa Indonesia saat ini tengah menuju transformasi ekonomi, melalui upaya peningkatan daya saing, perbaikan iklim investasi, dan percepatan pertumbuhan ekspor.

Dia menuturkan, di tengah kondisi perekonomian global yang penuh tantangan, fundamental ekonomi Indonesia tetap sehat. Indonesia masih mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas tinggi di kisaran 5% pada tahun 2019, dengan pendorong utama berasal dari konsumsi dan investasi domestik.

Indonesia pun terus meningkatkan daya saing dan iklim investasinya. Menurutnya,  saat ini seluruh lembaga pemeringkat utang telah mengakui Indonesia sebagai negara layak investasi dengan resiko rendah.

“Terlebih lagi, Indonesia juga secara konsisten meningkatkan peringkat ease of doing business (EoDB) sejak 2015. Hal ini didukung juga oleh peningkatan skor Indeks Persepsi Korupsi selama enam tahun terakhir,” katanya.

Sumber : Bisnis, 28.01.2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar