17 Februari 2018

[170218.ID.BIZ] Kibasan Sang Naga Memukau Dunia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak yang terkejut ketika Forbes mengumumkan orang kaya di China tahun 2017. Bukan si Jack Ma yang kesohor, melainkan Hui Ka Yan, pengusaha properti.

Forbes mencatat kekayaan pemilik Evergrande Group ini sekitar US$ 42,8 miliar. Hui sosok low profile. Sama seperti pemilik Grup Salim di Indonesia, ia kerap menghindari pers. Tapi lihatlah kibasannya. Tahun lalu, Evergrande Group menjual apartemen dan rumah di 546 proyek, mencakup 209 kota, 30 provinsi dan daerah lain. Evergrande juga memiliki bisnis keuangan dan pariwisata.

Hui membentuk Evergrande tahun 1996 dengan kurang dari 20 karyawan. Ide awalnya membangun apartemen kecil. Tahun 2006, Evergrande mulai menerima investor internasional termasuk Merrill Lynch, Temasek dan Deutsche Bank. Evergrande go public di Bursa Hong Kong pada 2009 dan berganti nama dari Evergrande Real Estate ke China Evergrande Group pada Juni 2016.

Pertengahan 2017, China Evergrande Group memiliki 102.454 karyawan. Dalam enam bulan pertama 2017, Evergrande memulai 74 proyek real estat baru di 59 kota. Penjualan kontrak tersebut mencapai CNY 244,1 miliar.

Evergrande membeli Grup New Media dan mengubah nama perusahaan menjadi Evergrande Healthcare, bisnis layanan kesehatan. China Evergrande Group juga mengakuisisi pemasok polysilicon Hong Kong Mascotte Holdings pada 2015, menarik investasi dari Tencent dan mengubah nama menjadi Hengten Networks. Saat ini, Evergrande memiliki 54% penyedia layanan komunitas internet.

Di peringkat kedua orang terkaya Tiongkok adalah Ma Huateng. Jumlah kekayaannya US$ 39 miliar. Ia adalah pendiri Tencent Holding. Pria yang kerap disapa Pony Ma ini rajin melakukan ekspansi besar-besaran, termasuk ke Indonesia. Tencent merupakan perusahan pemilik aplikasi WeChat. Kehadiran WeChat di Indonesia menggandeng korporasi Hary Tanoe, MNC. Tencent juga berinvestasi di Go-Jek dan JD.ID.

Di tempat ketiga, barulah bercokol Jack Ma. Pendiri dan pemilik Alibaba agresif melakukan ekspansi. Seperti Beijing Easyhome Furnishing seharga CNY 5,45 miliar dan menginvestasikan US$ 486 juta ke perusahaan ritel big data dalam dua kesepakatan.Alibaba juga menyuntikkan dana ke platform pengiriman makanan Zomato dengan investasi US$ 200 juta melalui Ant Financial.

Posisi keempat adalah Wang Jianlin, pendiri perusahaan properti dan entertainment Dalian Wanda Group. Hartanya US$ 25,2 miliar, Wanda Group telah membeli perusahaan pemilik jaringan bioskop AS, yaitu AMC seharga US$ 2,6 miliar di tahun 2012 lalu. Wanda juga mengakuisisi grup sinema berbasis di London, yaitu Odeon & UCI tahun ini seharga US$ 1,2 miliar.

Januari 2016 lalu, Dalian Wanda menghabiskan US$ 3,5 miliar untuk membeli Legendary Entertainment, perusahaan di balik pembuatan film trilogi Batman dan Jurassic World. Wang juga membeli perusahaan pembuat penghargaan Golden Globes, yaitu Dick Clark Productions, dengan harga US$ 1 miliar.

Di peringkat kelima, nongkrong Wang Wei dengan kekayaan US$ 22,3 miliar. Wang mendapatkan uang sebanyak itu setelah perusahaannya, SF Express, anak usaha SF Holdings, yang juga disebut Fed-Ex-nya China dijual ke publik. Sekarang, jaringan SF sudah menjangkau 200 negara dengan lebih dari 15.000 kendaraan. Semua itu tak terlepas dari berkembangnya Alibaba, perusahaan marketplace terbesar di China.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enni Sri Hartati memandang, perkembangan ekonomi China yang terus meningkat dengan bermunculannya para konglomerat sangat berpengaruh terhadap dunia.

Dua sisi investasi China bagi industri lokal

Seperti mata uang yang memiliki dua sisi, investasi China juga menyuguhkan cerita lain di balik dampak positifnya. Terutama, efek gulir bagi industri. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dua tahun terakhir China nangkring dalam lima besar penanam modal asing di Indonesia.

Meski masuk lima besar, Enni Sri Hartati, Direktur Indef menilai, investasi dari China belum komprehensif. Investasi mereka sebatas kebutuhan primer yang tidak memiliki nilai tambah. Sebut saja, investasi pada sektor kelistrikan. Belum lagi, soal perjanjian bisnis. Sejauh ini, China lebih banyak menerapkan kontrak jangka panjang dan membeli bahan baku murah dari Indonesia. Makanya, Indef berpendapat industrialisasi China kurang menguntungkan bagi Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia hanya menyumbang ekspor komoditas saja ke China. "Selama ini China merupakan salah satu tujuan ekspor khususnya dalam bidang komoditas," terang Enni kepada Kontan.co.id, Kamis (15/2).

Totok Lusida, Sekretaris Jenderal DPP Real Estat Indonesia (REI) lebih memilih mencermati penggunaan tenaga kerja. Menurut pengalamannya di lapangan, masih banyak pengembang China yang justru menggunakan tenaga kerja dari negara sendiri. Padahal, tenaga kerja lokal mampu untuk menangani pekerjaan itu.

Eddy Ganefo, Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengaku tak keberatan dengan adanya investasi China atau dari negara mana pun. "Semuanya harus sesuai aturan yang ada, karena fungsi aturan juga untuk melindungi pelaku industri dalam negeri agar bisa tetap hidup," kata dia.


Sumber : Kontan, 17.02.18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar