14 Desember 2018

[141218.ID.BIZ] Di Tengah Ancaman Perang Dagang, Boeing Akan Buka Pabrik di China


KONTAN.CO.ID - SHANGHAI. Meski ada kesepakatan antara pemimpin negara Amerika Serikat dan China dalam KTT G20 belum lama ini, namun perang dagang masih membayangi hubungan kedua negara. Walau begitu, sejumlah korporasi besar Amerika Serikat masih melanjutkan rencana bisnisnya di China. Seperti Boeing Co. siap yang membuka fasilitas finishing pesawat Boeing 737 untuk menjadi pabrik pertama perusahaan di China.

Seperti dilaporkan Bloomberg, pembuat pesawat yang berbasis di Chicago ini akan meresmikan fasilitas yang berlokasi di Zhoushan, pada hari Sabtu ini setelah masa pembangunan selama lebih dari satu tahun. Fasilitas ini didirikan oleh perusahaan Boeing dengan mitra lokalnya Commercial Aircraft Corp. of China Ltd (Comac).

Meski pabrik tersebut mulai didirikan sebelum Donald Trump terpilih jadi orang nomor satu di Amerika Serikat, peresmian fasilitas tersebut tetap dibayangi risiko  dampak perang dagang. Terlebih, kesepakatan gencatan senjata selama tiga bulan yang diumumkan awal Desember ini kini berada di bawah ancaman sejak penangkapan Chief Financial Officer Huawei Technologies Co. di Kanada karena tuduhan melanggar sanksi Iran.

Sementara fasilitas tersebut juga merupakan upaya Boeing untuk makin meningkatkan penetrasi di pasar China. Nantinya para pekerja di pabrik baru tersebut akan memberi sentuhan akhir pada pesawat buatan AS yang didatangkan dari sebuah pabrik di wilayah Seattle, sebelum mengantarkannya ke pelanggan lokal. "Sangat sulit untuk melebih-lebihkan bahwa China saat ini adalah pasar yang penting," kata Ken Herbert, analis dari Canaccord Genuity.

Sekitar satu dari setiap empat pesawat jet yang dibangun Boeing dikirim ke China. Di sisi lain, maskapai penerbangan dari negara tersebut adalah pembeli terbesar dari Boeing 737 yang tak lain adalah sumber keuntungan terbesar Boeing.
China diperkirakan membutuhkan sekitar 7.700 pesawat komersial selama dua dekade mendatang untuk bisa memenuhi permintaan kalangan kelas menengah yang makin besar. Kebutuhan sebesar itu sama dengan peluang pasar senilai US$ 1 triliun untuk Boeing, Airbus SE, dan pemain lokal macam Comac.

Menambah fasilitas produksi di China juga bisa meringankan beban pabrik Boeing di negara asalnya. Misalnya saat ini perusahaan hanya membangun jet narrow body di Renton, Washington.

Sementara pesaingnya, Airbus memiliki empat pabrik yang tersebar di seluruh dunia untuk pesawat A320, termasuk yang ada di China. Namun selain investasi Airbus, basis komersial Boeing di China juga ikut terancam oleh perang perdagangan yang dipicu oleh Presiden Trump.

Dampak dari perang dagang itu, salah satunya adalah ancaman China yang akan menaikan tarif pada Boeing 737 model lama. Baru-baru ini, anak usaha China Southern Airlines Co. yakni Xiamen Airlines, yang telah jadi pelanggan Boeing selama lebih dari 30 tahun, telah memulai pembicaraan dengan Airbus.

Sebagai eksportir terbesar AS, Boeing telah mendesak pemerintah kedua negara untuk menyelesaikan masalah perdagangan mereka. Termasuk di industri kedirgantaraan yang menghasilkan surplus sekitar US$ 80 miliar tahunan untuk AS.

Ekspansi Boeing ke China terbilang lambat bila dibanding Airbus yang telah merakit A320 narrow body di negeri tersebut selama satu dekade terakhir. Bahkan baru-baru ini Airbus memperluas pabriknya di Tianjin untuk penambahan fasilitas finishing dan pengiriman A330 wide body.

Namun pendekatan Boeing yang lebih hati-hati terhadap transfer teknologi di China juga dinilai mencerminkan strategi khas dari perusahaan manufaktur asal Seattle. Pasalnya perusahaan tidak memiliki pabrik lain di luar negeri, meskipun McDonnell Douglas Corp yang dibeli Boeing pada tahun 1997, melakukan investasi besar-besaran dalam produksi MD-80 China.

Meski begitu, Boeing masih mengungguli penjualan atas Airbus di China, walau memang selisih penjualan keduanya kian tipis. Menurut data CAPA Center for Aviation, pada Agustus tahun ini Boeing memiliki 1.670 pesawat yang melayani pasar China. Sementara Airbus mengekor dengan 1.598 pesawat.

Salah satu cara Airbus untuk mengejar ketertinggalan adalah dengan merekrut seorang mantan pejabat China untuk menjadi kepala baru guna meningkatkan hubungan dengan pemerintah dan pasar. Sekaligus membuka pusat inovasi yang berlokasi di Shenzhen.

Sumber : Kontan, 14.12.18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar