04 Maret 2019

[040319.ID.BIZ] Potensi Ekonomi Islam, UU JPH, dan "Kehalalan" Indonesia


Bisnis.com, JAKARTA -- Cita-cita Indonesia menggarap pasar produk halal di tingkat global secara signifikan terbantu oleh kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang bakal diimplementasikan pada 17 Oktober 2019.

Jika UU JPH diimplementasikan dengan baik, bukan tak mungkin Indonesia bisa menjadi negara eksportir besar produk halal di dunia.

Produk halal memang punya pangsa pasar yang luar biasa besar dan terus bertumbuh. Laporan State of the Global Islamic Economy Report (GIER) 2018/19 hasil kolaborasi Thomson Reuters, Dubai the Capital of Islamic Economy, dan Dinar Standard menyebutkan perekonomian Islam di seluruh dunia bernilai total US$2,1 triliun per 2017.

Angkanya diproyeksi meningkat menjadi lebih dari US$3 triliun pada 2023.

Pasar makanan dan minuman (mamin) halal, baik untuk populasi Muslim maupun bukan, mencapai US$1,3 triliun pada 2017. Kemudian, pasar busana Muslim sebesar US$270 miliar.

Untuk bidang media dan rekreasi halal, nilainya US$209 miliar. Sementara itu, perputaran uang di wisata halal menyentuh US$177 miliar.

Sektor finansial yang sesuai aturan Islam bernilai US$2,43 triliun, sedangkan obat-obatan dan kosmetik halal masing-masing sekitar US$87 miliar dan US$61 miliar pada 2017.

Laporan itu juga memprediksi adanya lonjakan konsumsi atas produk-produk halal hingga beberapa tahun mendatang. Kenaikan konsumsi seiring proyeksi naiknya jumlah umat Muslim di dunia, yang diprediksi mencapai 3 miliar jiwa pada 2060.

Dalam menggarap potensi pasar halal global, ada dua negara yang dianggap memimpin saat ini yakni Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA). Kedua negara itu unggul karena memiliki ekosistem yang baik untuk perusahaan penyedia barang dan jasa halal.

Dalam indikator global ekonomi Islam yang diterbitkan laporan tersebut, Malaysia dan UEA mendapat skor 127 dan 89. Mereka unggul jauh dari Bahrain (65); Arab Saudi (54); Oman (51), Yordania, Qatar, dan Pakistan (49); Kuwait (46); serta Indonesia (45).

Secara khusus, Indonesia disebut telah berhasil melakukan lompatan sehingga masuk jajaran 10 besar negara yang memegang peran dalam perekonomian Islam di dunia. Umat Islam di Indonesia diperkirakan menghabiskan US$218,8 miliar uang untuk mengonsumsi segala barang dan jasa halal pada 2017.

Industrialisasi Produk Halal

Meski menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia belum berada pada posisi terdepan dalam memainkan peran sebagai negara eksportir dan penyedia produk serta jasa halal. Hal itu diakui Peneliti Ekonomi Syariah SEBI School of Islamic Economics Aziz Setiawan.

Dia mengatakan saat ini, Indonesia masih menghadapi kendala untuk memperbesar produksi barang dan jasa halal. Salah satu kendalanya, belum terciptanya kesadaran pemerintah dan pelaku industri dalam memproduksi serta memasarkan produk dan jasa halal secara masif.

Aziz menyebut pemerintah dan pelaku ekonomi harusnya bisa merumuskan strategi untuk membawa Indonesia sebagai pemimpin dalam perekonomian halal di dunia. Besarnya jumlah penduduk Muslim dan kekayaan alam di Indonesia menjadi hal yang harus dimanfaatkan maksimal untuk mendorong naiknya posisi negara di perekonomian halal sedunia.

“Ini harusnya menjadi concern penting pemerintah, mengingat kondisi hari ini di neraca pembayaran kita kan defisit semua. Harusnya kita cari peluang baru dan salah satu yang penting adalah market halal di global yang cukup besar,” ujar Aziz kepada Bisnis, Kamis (28/2/2019).

Saat ini, Indonesia dinilai belum memiliki desain industrialisasi produk halal yang kuat. Rencana penerapan UU JPH bisa menjadi acuan agar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan memperbaiki desain industri produk dan jasa halal.

Dia menerangkan salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mendorong tumbuhnya industri produk dan jasa halal adalah mempercepat proses sertifikasi halal. Penerbitan sertifikat halal dalam waktu singkat juga harus didukung dengan pembentukan kawasan industri halal.

“Sekarang Malaysia cukup besar berada di posisi global karena dia bangun cukup banyak halal industrial park,” tuturnya.

Setelah industrialisasi berjalan lancar, pemerintah dan pelaku ekonomi diharapkan bisa memasarkan barang dan jasa halal yang ada agar laku di pasar internasional. Peluang Indonesia untuk unggul dalam pengadaan barang dan jasa halal terbuka, apalagi jika pelaku ekonomi bisa melakukan diferensiasi dan branding yang kuat.


Persiapan Pemerintah

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sadar akan besarnya potensi pasar barang dan jasa halal di tingkat global. Tetapi, mereka mengakui bahwa saat ini masih terdapat sejumlah kekurangan untuk mengembangkan industri halal di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar mengungkapkan salah satu hambatan yang dihadapi pelaku industri adalah sertifikasi halal. Adapun hambatan lainnya yakni kurangnya pasokan bahan baku dari dalam negeri untuk digunakan dalam produksi barang halal.

Untuk mengatasi berbagai hambatan itu, pemerintah berjanji mempermudah serta menurunkan tarif sertifikasi halal bagi industri terutama yang berskala kecil dan menengah. Kemenperin juga akan mendorong pelaku industri memperbesar produksi barang halal.

“Kita kan yang [sektornya] unggul ada beberapa, nah itu harus didorong untuk penyediaan bahan bakunya, dan kita dorong agar mereka [industri] bisa pahami dan menerapkan produksi produk halal. Persyaratan-persyaratan untuk produk halal itu akan terus kami bina mereka,” ucapnya kepada Bisnis.

Pemerintah juga memiliki rencana membangun kawasan industri halal. Sayangnya, belum diketahui di mana dan kapan pembangunannya bakal dilakukan.

Rencananya, Kemenperin akan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang Kawasan Industri Halal pada tahun ini. Regulasi itu ditargetkan terbit sebelum UU JPH diimplementasikan.

“Kami masih mempelajari kemungkinannya [Kawasan Industri Halal] dikaitkan dengan pusat-pusat industri. Bisa didorong di luar Pulau Jawa ya agar lebih merata, itu kan salah satu program kita,” terang Aziz.

Untuk mengatasi persoalan bahan baku, Kemenperin mendorong pelaku ekonomi untuk mau berinvestasi dalam pengadaan bahan-bahan primer untuk sejumlah produk halal. Pelaku industri juga diminta mencari substitusi barang impor, seperti memanfaatkan produk kesehatan herbal yang bahan bakunya bisa ditemukan di dalam negeri.

Haris berharap minimal penerapan UU JPH dapat membentengi pasar di Indonesia dari serbuan produk-produk halal dari luar negeri. Setelah itu, baru diupayakan agar nilai ekspor produk-produk halal dari Indonesia naik di tingkat global.

“Kalau untuk ekspor ya kendalanya dari dalam sendiri. Bagaimana kita bisa berdaya saing kalau nanti biaya untuk memproduksi produk halal kalah karena mahal?” imbuhnya.

Pendapat serupa dikemukakan Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan. Kemendag mengaku belum mendata berapa nilai ekspor produk halal dari Indonesia selama ini.

Tetapi, dia yakin potensi perdagangan barang halal cukup besar untuk dimanfaatkan.

“UU JPH akan lebih mendorong meningkatnya peredaran produk-produk halal di pasar domestik yang didominasi masyarakat Muslim. Hal ini tentunya akan membuat produsen meningkatkan kapasitas produk yang berlabel halal dan mendorong peningkatan ekspor produk-produk halal ke depannya,” papar Oke kepada Bisnis.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman juga menyatakan bahwa selama ini, industri mamin belum mencatat rapi produksi barang halal dan non halal. Namun, dia mengakui banyak permintaan produk halal dari sejumlah negara yang mayoritas negaranya bukan penganut Islam.

“Dari berbagai pameran dan business matching, permintaan produk halal datang dari berbagai negara termasuk negara non Muslim seperti China, Jepang, Taiwan, Korea Selatan,” tutur Adhi kepada Bisnis.
  
GAPMMI juga sempat menyebut bahwa mayoritas pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di bidang mamin belum siap memenuhi kriteria agar produk-produknya mendapat sertifikat halal. Ketidaksiapan muncul lantaran sosialisasi pemerintah terkait produk halal belum masif.

Kemudian, pelaku UKM belum memperhatikan pengetahuan pegawainya ihwal syarat-syarat untuk mendapat sertifikat halal. Padahal, berdasarkan catatan mereka ada sekitar 1,6 juta pelaku industri mamin berskala kecil dan menengah di Indonesia serta 6.000 pengusaha berskala menengah dan besar.

“Karena sertifikasi halal kan bukan hanya sertifikat, tapi bagaimana menerapkan sistem jaminan halal itu di dalam perusahaan. Di samping itu, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kelihatannya perlu banyak persiapan karena jumlah industri kecil dan rumah tangga mamin kan besar,” ucapnya.

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sempat menyebutkan bahwa produk halal Indonesia yang diekspor ke negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) baru mencapai 10,7% dari total produksi. Angka ini di bawah Malaysia yang sebesar 13,8%, UEA 13,6%, dan Arab Saudi 12%.

Jika melihat laporan GIER 2018/19, ada sejumlah negara yang mungkin membuat orang mengernyitkan dahi karena mampu mengambil pangsa pasar yang signifikan di sektor terkait halal. Negara-negara tersebut, di antaranya Australia, Brasil, dan Thailand, menunjukkan bahwa konsumsi produk dan jasa halal sejatinya tak terbatas bagi umat Muslim.

Hal itu juga sekaligus menggambarkan besarnya potensi produk dan jasa halal. Pertanyaannya, seberapa siap Indonesia mengambil porsi?

Sumber : Bisnis, 04.03.19.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar