21 September 2020

[210920.ID.BIZ] Isu Merger Kembali Menerpa, Grab Dinilai Lebih Butuh Gojek Untuk Bertahan

 

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pandemi Covid-19, muncul isu merger antara Gojek dan Grab. Bergulirnya isu liar ini diduga kuat akibat kondisi SoftBank sebagai pemegang saham mayoritas Grab yang sedang tertekan.

Investasi SoftBank di banyak startup rugi besar. Pada tahun fiskal 2019 kerugian SoftBank mencapai US$ 17,7 miliar. Kerugian itu diderita Vision Fund, venture capital milik SoftBank, setelah melakukan hapus buku nilai investasi di WeWork dan termasuk Uber Technologies Inc.

"Kegagalan investasi di WeWork paling fatal," ujar Poltak Hotradero, Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam keterangannya, Minggu (20/9).

Lebih lanjut Poltak mengungkapkan, di masa pandemi Covid-19 ini laju bisnis perusahaan investasi milik Softbank mengalami banyak tekanan. Apalagi hampir sebagian besar investasi SoftBank berada di sektor jasa transportasi dan logistik yang terkena imbas langsung Covid-19.

Situasi semakin rumit lantaran adanya komitmen Grab terkait akuisisi saham Uber di Asia beberapa waktu lalu. Sesuai prospektus IPO Uber, Poltak mengatakan, Uber memiliki hak untuk menukarkan 23,2% kepemilikan sahamnya di Grab dengan uang tunai jika Grab tidak melangsungkan IPO hingga 25 Maret 2023.

"Jika Uber mengeksekusi haknya untuk mencairkan kepemilikan sahamnya, maka Grab harus membayar Uber sebesar US$ 2,26 miliar atau lebih. Nilai tersebut setara dengan 409 juta saham Grab yang dimiliki Uber dengan harga US$ 5,54 per saham dengan bunga sebesar 6% per tahun," ungkap Poltak.

Selama ini portofolio Vision Fund tersebar di banyak perusahaan. Nilainya ditaksir mencapai sekitar US$ 33 miliar hanya di sektor transportasi dan logistik.

Beberapa investasi Vision Fund di aset ride-sharing di antaranya adalah investasi US$ 7,7 miliar di Uber, US$ 11,8 miliar ke Didi China, US$ 3 miliar ke Grab Singapura, dan US$ 250 juta ke dalam Ola India.

Untuk menutupi kerugiannya itu, SoftBank telah melepas kepemilikan sahamnya di ARM, perusahaan chip asal Inggris senilai US$ 40 miliar. SoftBank juga dikabarkan bakal melepas sahamnya di T-Mobile, perusahaan telekomunikasi asal Jerman, senilai US$ 21 miliar.

Menurut Poltak, merger antara Grab dan Gojek akan menemui beberapa kesulitan. Misalnya, filosofi dan kultur antara kedua perusahaan ride-hailing tersebut berbeda. Grab fokus menguasai pasar regional. Makanya, unit bisnis Uber di Asia Tenggara diakuisisi oleh Grab dalam rangka memperluas pasar Grab.

Sementara, Gojek sejak awal lebih fokus menggarap pasar Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Dengan menguasai pasar Indonesia, Gojek akan lebih leluasa dan mudah menerapkan strateginya untuk menggarap pasar di luar negeri.

Konsep dan strategi antara Grab dan Gojek juga berbeda. Grab saat ini masih fokus pada bisnis tranportasi yang melayani pengantaran orang maupun barang.

Sementara Gojek sudah jauh berkembang bukan hanya terbatas pada bisnis transportasi. Bisnis Gojek kini juga bergerak dengan cepat ke arah pembayaran non-tunai melalui Go-Pay.

"Go-Ride saat ini lebih sebagai bagian dari ekosistem supaya Go-Pay lebih banyak dipakai. Gopay sendiri statusnya sudah Decacorn," kata Poltak.

Menurut Poltak, perusahaan ride-hailing sebenarnya tidak bisa mengkaver biaya jika hanya mengandalkan lini bisnis transportasi. Apalagi, jika perusahaan terus-menerus menerapkan strategi bakar uang.

"Kalau memang mau merger pihak yang mengakuisisi dan diakuisisi harus jelas. Jika Grab yang mengakuisisi Gojek, valuasi Go-Pay harus dihitung. Sementara bagi Gojek mereka tidak membutuhkan akusisi itu karena semua yang ada di Grab sudah ada di Gojek," ujar Poltak.

Sumber : Kontan, 21.09.2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar