10 Mei 2019

[1001519.ID.BIZ] Pengamat: Tarif Baru Ojol Harus Perhatikan Latar Belakang Pengguna


KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pengamat perkotaan dan transportasi, Yayat Supriatna menilai perang promo dan diskon yang dilancarkan oleh angkutan daring, adalah siasat wajar untuk menahan penurunan permintaan karena kenaikan tarif angkutan daring.

"Kita bisa lihat apakah tarif yang ditentukan pemerintah ini mengikat atau tidak. Jika mengikat tentu ada sanksi jika melanggar. Sebagai operator dan pelaku usaha, para penyedia jasa angkutan daring melihat demand masyarakat. Kalau SK yang ditetapkan merugikan masyarakat karena tarif yang naik, maka wajar ada promo dan diskon. Ini pun untuk menyiasati penurunan order," jelas Yayat kepada Kontan, Jumat (10/5).

Lebih jauh, Yayat berkata mekanisme marketing seperti pemberian diskon dan promo tidak bisa dilepaskan dari ekosistem bisnis manapun, termasuk penyedia jasa angkutan daring.

"Korporasi hanya membuat sistem. Apakah sistem tersebut taat dengan regulasi pemerintah? itu pertanyaannya, sebab jarang pelaku usaha yang ingin dibatasi geraknya. Mereka (penyedia jasa angkutan daring) pun perlu mempertahankan bisnisnya," lanjut Yayat.

Sebagai informasi, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan surat keputusan tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi, atau Kepmenhub Nomor 348 Tahun 2019.

Dengan SK tersebut, besaran tarif ojek online (ojol) per 1 Mei 2019, untuk wilayah Jabodetabek misalnya, ditetapkan batas bawahnya sebesar Rp 2.000 per km dan tarif batas atas dipatok sebesar Rp 2.500 per km. Sementara untuk biaya jasa minimal dikenakan sekitar Rp 8.000 per km - Rp10.000 per km.

Berangkat dari beleid di atas, Yayat berkata, pemerintah dan korporasi sebaiknya bekerjasama memperhitungkan tarif sesuai dengan latar belakang penggunanya di tiap kota.

Ia memberikan contoh, bagi pekerja sekaligus pengguna fasilitas angkutan daring di daerah Jabodetabek, kenaikan tarif angkutan daring sebesar 15%-20% dipastikan membuat mereka mencari alternatif transportasi lain.

Dalamnya penetrasi ojol dalam keseharian masyarakat, membuat kenaikan tarif menjadi pukulan berat untuk masyarakat yang setiap hari bergantung pada moda transportasi ini.

"Dengan demikian, perlu melihat UMR, dan latar belakang pendapatan, dan pendidikan pengguna di tiap kota. Sebab, tiap kota memiliki karakter dan pola sendiri. Tak bisa dipukul sama di tiap kota. Korporat punya datanya tapi mereka biasanya kurang terbuka soal ini," ujarnya.

Yayat berkata, selama ini penetapan tarif angkutan daring ditentukan dari biaya operasional langsung dan tidak langsung. "Biaya tersebut terdiri dari jarak, operasional dan rupiah yang dihabiskan tiap kilometer, nah dari sana keluar satuan rupiah atau willingness to pay," jelas Yayat kepada Kontan, Jumat (10/5).

Ia berpendapat penentuan tarif angkutan daring akan lebih baik bila dibebankan kepada pemerintah melalui sistem tarif subsidi atau public service operation (PSO). "Jadi pemerintah membayar selisih dari pembiayaan operasional yang dikeluarkan perusahaan, dengan tarif pendapatan. Ini dapat membuat perusahaan tetap sehat," jelas Yayat kepada Kontan, Jumat (10/5).

Namun jika PSO diberlakukan, terdapat kemungkinan munculnya ketimpangan lain sebab beban perusahaan penyedia jasa makin mengecil. Penyedia jasa bisa jadi akan hanya menanggung beban operasional sebesar 20% -30%, sementara sisanya ditanggung oleh pengemudi.

"Mereka kan penyedia jasa ya, tidak mengeluarkan motor, mobil, atau apapun. Selama ini driver lebih banyak menanggung semua. Nah ini yang tidak bisa terjadi," pungkas Yayat.

Sumber : Kontan, 10.05.19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar