13 Oktober 2020

[131020.ID.BIZ] Geser ANTM dan INCO, Morowali Industrial (IMIP) Kuasai 50% Pasar Nikel Nasional

 

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peta pangsa industri nikel nasional bergeser dengan cepat. Dalam kurun waktu 4 tahun saja, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mampu menggeser posisi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dalam penguasaan produk nikel di Indonesia.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif membeberkan, pada tahun 2014, produksi nikel masih dikuasai oleh Vale dengan porsi 77%. Disusul Antam dengan 19% dan lainnya sebanyak 3%.

Namun, peta industri hilir nikel hingga produk setengah jadi (intermediate product) itu telah berubah dengan drastis. Pada 2018, IMIP sudah menguasai 50% dari produksi hilir nikel di Indonesia. Porsi Vale pun susut jadi 22% dan Antam hanya 5% saja.

Perusahaan nikel BUMN itu juga sudah tersalip oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11%, Harita Group 6% dan perusahaan lainnya sebesar 6%.

"Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya," ungkap Irwandy dalam webinar tentang pemanfaatan nikel yang digelar Selasa (13/10).

Dia menambahkan, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.

Secara keseluruhan, lebih dari 90% produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis Nikel Pig Iron (NPI). "Perkembangan produksi smelter cukup signifikan, tetapi 99%, atau semuanya 100% masih intermediate produk. 90% lebih adalah produk NPI," ujar Irwandy.

Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau FeroNikel. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) masih mini.

Saat ini, kebutuhan nikel global  juga masih didominasi untuk industri stainless steel sebesar 71%. Sedangkan untuk kebutuhan industri lainnya seperti baterai masih mini, yakni 3%.

Namun, pembangunan smelter di Indonesia sudah mulai beragam. Irwandy mengungkapkan, paling tidak sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter nikel dengan High Pressure Acid Leaching (HPAL). Dari keenam smelter HPAL itu, lima diantaranya ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2021 mendatang.

Keenam perusahaan yang membangun smelter HPAL itu adalah PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Huayue, PT QMB dan PT Vale Indonesia.

Belum lagi, rencana holding pertambangan MIND ID untuk membangun smelter HPAL yang terintegrasi dengan industri baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi listrik (storage). MIND ID melalui Antam, bersama PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) rencananya akan membangun dua pabrik baterai integrasi.

Dengan adanya rencana pengembangan di industri hilir tersebut, Irwandy yakin investasi nikel di Indonesia akan semakin menarik. Apalagi dari sisi hulu, dia menyebut bahwa wilayah greenfield yang bisa dieksplorasi masih sangat luas.

"Wilayah greenfield nikel masih luas. Potensi cadangan yang besar dan peluang industri hilir. Indonesia menjadi menarik untuk pengembangan investasi nikel," imbuh Irwandy.

Adapun, merujuk pada data dari Badan Geologi Kementerian ESDM, hingga Juli 2020, total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11,88 miliar ton. Sedangkan total sumber daya logam nikel sebesar 174 juta ton.

Lalu, neraca cadangan bijih nikel hingga Juli 2020 tercatat sebesar 4,34 miliar ton. Sementara total cadangan logam nikel sebesar 68 juta ton. Data tersebut dikumpulkan dari 328 lokasi di Indonesia. Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara menjadi tiga provinsi dengan sumber daya dan cadangan nikel terbesar.

Sumber : Kontan, 13.10.2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar