07 Februari 2019

[070219.ID.BIZ] Benarkah Go-Jek sudah dikuasai asing?


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Go-Jek kembali memperoleh pendanaan. Nilainya disebut-sebut mencapai Rp 14 triliun. Sebagai perbandingan, sepanjang 2018 lalu, bursa efek Indonesia (BEI) mencatat emisi rights issue mencapai Rp 35 triliun. Tapi ini dari 28 rights issue.

Ibarat pemilik rumah, Go-Jek punya hak penuh siapa tamu yang boleh datang. Go-Jek juga berhak mengatur tata krama selama si tamu bertandang. Ini jawaban yang paling pas untuk menjawab pertanyaan yang santer beredar belakangan ini, siapa pemilik Go-Jek saat ini?


Maklum, perusahaan ini mendapat banyak pendanaan. Go-Jek mendapat sekitar US$ 1 miliar dari Google, Tencent dan JD.com. Sebelumnya, sejumlah konglomerasi raksasa Indonesia, seperti Grup Astra dan Grup Djarum, juga masuk ke Go-Jek.

Pengurus Go-Jek masih menjadi pemilik resmi start up unicorn dalam negeri ini. Data Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) per Oktober 2018 mengungkapkan, salah satu pengurusnya adalah Nadiem Makarim.

Dia memegang saham seri D,E, dan I. Totalnya sekitar 58.416 saham. Ini hanya setara sekitar 5% dari modal ditempatkan Go-Jek, yakni sebanyak 1,21 juta saham. Selebihnya dimiliki pemegang saham lain.

Ekonom dan Senior Researcher Creco Consulting Raden Pardede menyebut, perusahaan global kerap menggunakan skema saham dual class saat melepas sebagian kepemilikan saham ke investor. Ini mirip yang dilakukan Go-Jek.

Contohnya, Facebook. Mark Zuckerberg hanya pemegang saham minoritas. Tapi, dia masih memiliki kendali penuh atas Facebook. Sebab, saham yang diperdagangkan di public cuma punya hak suara 60%.

Contoh lain Snap Inc. Saat initial public offering (IPO) senilai US$ 3,4 miliar pada 2017, aplikasi berbagi foto ini tak memberi hak suara untuk saham publik.

Raden menambahkan, merupakan hal yang positif jika Go-Jek mengadopsi skema tersebut. Sebab, skema dual class menunjukkan jika investor memberikan kepercayaan kepada pendiri untuk memimpin dan mengelola.

"Itu bukti pengakuan dan kepercayaan untuk meneruskan dan mengembangkan perusahaan jangka panjang,” jelas Raden.

Head of Equity Capital Market Samuel International Harry Su menilai, belum ada skema dual class di Indonesia. "Tapi, kalau golden share ada," ujar dia kepada Kontan.co.id belum lama ini.

Golden share adalah saham yang bisa mengalahkan semua saham lainnya. Ini mencegah adanya hak suara yang terlalu kuat dari investor dengan porsi kepemilikan besar.

Kalau di BUMN, istilahnya saham dwiwarna. Saham ini hanya selembar dan dimiliki oleh negara. Dengan saham tersebut, pemerintah memiliki hak veto yang besar terhadap pengendalian dan rencana bisnis, bahkan aksi korporasi besar perusahaan.

Pendiri Alibaba Group, Jack Ma, kini juga hanya memiliki 5,6% saham raksasa e-commerce dunia tersebut. "Jika ingin terus berlari untuk jangka panjang, harus dengan banyak orang,", tutur Ma.

Sumber : Kontan, 06.02.19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar