22 Februari 2017

[220217.ID.BIZ] China Masih Jadi Faktor Utama

JAKARTA – Harga batu bara diprediksi masih berpeluang membara seiring dengan proyeksi berkurangnya produksi dari China, meskipun Amerika Serikat bakal meningkatkan volume suplai.

JP Morgan dalam risetnya menyampaikan, National Development and Reform Commission (NDRC) China sedang mempertimbangkan untuk memulai kembali pengendalian produksi tambang melalui pengurangan operasi kerja menjadi 276 hari mulai pertengahan Maret 2017. Kebijakan tersebut akan mencakup dua hal, yakni pemantauan (monitoring) industri selama enam bulan ke depan, dan lokasi tambang batu bara yang dipilih.

Penutupan kapasitas produksi merupakan reformasi suplai NDRC yang berlaku sejak tahun lalu untuk menstabilkan harga batu bara. Seperti diketahui, mulai April 2016 Pemerintah China menetapkan pemangkasan waktu kerja perusahaan batu bara dari 330 hari per tahun menjadi 276 hari per tahun.

Namun demikian, operasional tambang batu bara sejak September 2016 ditambah untuk menopang tingginya pasokan selama musim dingin. NDRC menyampaikan, semua perusahaan yang sudah memenuhi standar keselamatan bisa memulihkan operasi dari 276 hari menjadi 330 hari.

“Fokus pasar saat ini ialah apakah kebijakan 276 hari kerja akan dilanjutkan setelah Maret 2017. Katalis lain dalam jangka pendek ialah target penutupan kapasitas batu bara untuk 2017,” papar Morgan dalam risetnya akhir pekan lalu.

Pada penutupan perdagangan Senin (20/2), harga batu bara Newcastle kontrak Februari 2017 tumbuh 0,2 poin atau 0,25% menjadi US$80,1 per ton. Meskipun demikian, selama tahun ini harga telah turun 9,39% (year to date/ytd).

Tahun lalu, harga mencapai titik terendah US$41,35 per ton pada 18 Januari 2016, dan level tertinggi US$100 per ton pada 11 November 2016. Sepanjang tahun kemarin, harga melonjak 101,87%.

Total penutupan kapasitas tambang batu bara China pada 2016 mencapai 290 juta ton, naik dari target awal 250 juta ton. Menurut Morgan, pemerintah setempat memberikan ambang batas wajar harga batu bara di atas level 500 – 570 yuan (US$72,77 – US$82,96) per ton. Artinya, bila harga berada di luar rentang tersebut, pengambil kebijakan akan melakukan langkah-langkah tertentu untuk kembali menstabilkan harga.

Sentimen Negatif

Sementara itu, sentimen negatif terhadap pasar batu bara datang dari Amerika Serikat, sebagai produsen terbesar kedua di dunia, yang berencana meningkatkan produksi pada 2017.

Laporan Short Term Energy Outlook (STEO) Februari 2017 dari US Energy Information Administration (EIA) menyebutkan, produksi batu bara AS pada 2016 mencapai 739 juta short ton (MMst), turun 18% yoy atau 158 MMst dari 2015, dan menjadi level terendah sejak 1978. Hal ini terjadi karena Paman Sam mulai beralih ke gas alam sebagai tenaga pembangkit listrik.

Seiring dengan naiknya harga gas alam, penggunaan batu bara juga akan ditingkatkan. Alhasil produksi batu hitam diperkirakan meningkat sekitar 3% yoy pada 2017.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures, mengatakan isu terkini yang sedikit menekan pasar batu bara ialah proyeksi peningkatan produksi dari AS. Sejak awal, Presiden AS Donald Trump memang memberikan janji-janji yang pragmatis, termasuk masalah energi.

Sebelumnya, Barack Obama ketika masih menjabat sebagai presiden menekankan penggunaan energi terbarukan dan energi alternatif. Oleh karena itu, Paman Sam mengurangi konsumsi batu bara, dan beralih ke gas alam.

“Mungkin sekarang angin berhembus balik untuk batu bara karena efek Trump. Meskipun enggak bagus buat lingkungan, yang penting bagus bagi AS,” ujarnya.

Selain dari AS, potensi penaikan produksi juga datang dari negara lain seperti Indonesia dan Kolombia. Menurut Wahyu, hal ini masih wajar karena peningkatan harga memicu produsen mengerek suplai. Namun demikian, hingga saat ini masih dihitung seberapa besar volume suplai baru tersebut mempengaruhi pasar global. China tetap menjadi faktor utama terhadap pasar batu bara.

“Jadi secara umum bisa diduga harga enggak boleh anjlok karena merugikan perusahaan tambang, yang ujung-ujungnya menekan ekonomi China. Tapi harga juga enggak bisa mahal, karena mengancam sektor energi atau listrik,” tuturnya.

Dalam jangka menengah atau pada kuartal I/2017, Wahyu memprediksi rentang harga berada di kisaran US$70 – US$110 per ton. Meski jatuh di bawah US$82 per ton, harga masih berpeluang rebound.

Aditya Eka Prakasa, analis BCA Sekuritas, dalam risetnya menyampaikan emiten batu bara di Indonesia dapat diuntungkan dengan pemutusan impor China dari Korea Utara. Penghentian impor ini dilakukan setelah uji coba rudal balistik dari Korea Utara ke Laut Jepang.

Larangan impor diperkirakan berlangsung sampai akhir 2017. Pada 2016, Korea Utara mengekspor 22,5 juta ton batu bara ke China, atau sekitar 50% total ekspor negara yang dipimpim Kim Jong Un ini. Sementara itu bagi Negeri Panda, volume pengiriman dari Korea Utara mewakili 10% total impor batu bara negara.

“Kiriman batu bara dari Indonesia bisa mengisi kekosongan dari larangan China terhadap Korea Utara,” paparnya.

Menurut Aditya, dua perusahaan lokal yang dapat mengisi pasar China ialah ADRO dan ITMG. Penjualan batu bara ke China berkontribusi terhadap 14% pendapatan ADRO, dan 25% pendapatan ITMG.


Sumber : Bisnis Indonesia, 22.02.17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar