01 Oktober 2019

[011019.ID.BIZ] Dulu Populer Kini Bangkrut, Ada Apa dengan Forever 21?


Bisnis.com, JAKARTA – Di masa-masa kejayaannya, Forever 21 adalah hot spot busana kaum muda di berbagai penjuru dunia. Peritel asal Amerika Serikat (AS) ini bahkan meraup pendapatan senilai US$4,4 miliar (sekitar Rp62,48 triliun) suatu waktu.

Ditunjang catatan pertumbuhan paling cepat di Amerika, Forever 21 mampu memantapkan diri sebagai kekuatan besar di industri fast fashion. Tapi itu cerita lama. From something to nothing, perusahaan mengumumkan kebangkrutannya. Apa yang terjadi?

Padahal, perjalanan Forever 21 pernah merebak di antara kisah keberhasilan menjemput impian dalam kerasnya kehidupan Negeri Paman Sam.

Cikal Bakal Forever 21

Pada 1981, sepasang suami istri Jin Sook dan Do Won "Don" Chang nekat pindah ke Los Angeles dari negeri asalnya, Korea Selatan, tanpa berbekal uang, gelar sarjana, dan kemampuan berbahasa Inggris yang cakap.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Jin Sook bekerja sebagai penata rambut. Si suami, Don, lebih repot. Ia bekerja serabutan mulai jadi petugas kebersihan, memompa gas, hingga menyajikan kopi.

Tak lelah keduanya berusaha memiliki kehidupan yang lebih baik. Entah berawal dari mana, Don menyadari satu hal serupa yang dimiliki kalangan berduit.

“Saya memperhatikan orang-orang yang mengendarai mobil-mobil bermerek semuanya berbisnis garmen,” tutur Don kepada The Los Angeles Times dalam suatu wawancara pada 2010.

Bermodalkan simpanan senilai US$11.000, suami istri itu membuka toko pakaian seluas 900 kaki persegi pada 1984. Oleh mereka, toko itu diberi nama 'Fashion 21', cikal bakal 'Forever 21'.

Pasangan tersebut memanfaatkan barang-barang obralan yang dibeli borongan dari produsen dengan harga diskon. Cara mereka berhasil. Pada tahun pertama, toko mereka meraup nilai penjualan US$700.000.

Kunci Sukses

Pada awalnya, Fashion 21 hanya populer di komunitas Korsel-Amerika di Los Angeles. Tapi suami istri Chang memacu semangat kerja mereka. Mereka membuka toko baru setiap enam bulan dan memperluas basis pelanggan perusahaan.

Seiring dengan bertambahnya pelanggang, mereka mengubah nama toko menjadi Forever 21 demi menyasar siapapun yang ingin menjadi trendi, segar, dan berjiwa muda.

Pada 1995, perusahaan membuka toko pertama di luar California. Enam tahun berselang, bendera Forever 21 sudah berkibar di Kanada, toko pertama perusahaan di kelas internasional.

Kunci kesuksesan perusahaan saat itu sederhana saja, yakni menumbuhkan banyak pembeli dengan menjual pakaian trendi berharga murah. Forever 21 adalah salah satu yang pertama melakukannya. Dan mereka yang tercepat.

Hasilnya, Forever 21 menjadi salah satu tenan terbesar di mal-mal Amerika. Tokonya tersebar di 480 lokasi di seantero negeri. Pada 2015, bisnis perusahaan berkembang pesat. Penjualan Forever 21 memuncak, dengan mengantongi nilai penjualan global sebesar US$4,4 miliar tahun itu.

Pundi-pundi suami istri Chang sudah pasti bertambah. Mereka menjadi salah satu pasangan terkaya di AS. Jika digabung, kekayaan bersih mereka mencapai sekitar US$5,9 miliar pada Maret 2015.

Forever 21 pun berambisi menjadi perusahaan bernilai US$8 miliar pada 2017 dan membuka 600 toko baru dalam tiga tahun berikutnya. Sayangnya, ekspansi agresif perusahaan juga akan membawa kejatuhan.

Kehilangan Sentuhan

Apa yang membuat Forever 21 populer pertama-tama adalah model industri yang fast fashion. Meski produknya selalu diproduksi secara massal, Forever 21 tetap dilihat unik karena toko-tokonya hanya menjual gaya fesyen tertentu untuk waktu yang terbatas.

Namun, ketika perusahaan fokus untuk tumbuh lebih besar, gaya fesyen-nya dirasa menjadi kekurangan karakter. Akibatnya, Forever 21 mulai kehilangan sentuhan dengan pelanggan intinya.

Pada saat yang sama, pamor pesaing-pesaingnya di ritel seperti H&M dan Zara menanjak.

Forever 21 tak lagi yang tercepat dalam permainan ini. Didukung efek influencer dengan kecepatan tinggi, merek-merek di dunia maya seperti Fashion Nova jadi buruan pembeli.

Dan ketika e-commerce terus booming, peritel tradisional seperti Forever 21 harus bergulat untuk beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen.

Menurut sebuah survei pada Maret 2019, sabanyak 60 persen dari pembelian oleh kalangan milenial dilakukan secara daring. Secara keseluruhan, terungkap jika mereka lebih suka belanja online daripada mendatangi toko secara langsung.

Mungkin berharap kondisi ini akan berlalu, Forever 21 justru terus membuka toko baru pada 2016, bahkan memperluas toko-tokonya untuk menambahkan busana pria, anak-anak, dan barang-barang rumah tangga.

Mungkin pula langkah tersebut bisa membantu menjelaskan mengapa penjualan Forever 21 diperkirakan telah turun 20 persen-25 persen pada 2018. Sebaliknya, H&M Group melaporkan kenaikan penjualan bersih sebesar 10 persen pada kuartal I/2019.

Umumkan Bangkrut

Suami istri Chang harus rela kehilangan kekayaan bersih senilai lebih dari US$4 miliar. Secara keseluruhan perusahaan kini memiliki utang sekitar US$500 juta dan mempertimbangkan untuk mengajukan kebangkrutan.

Perusahaan sudah mulai mengurangi jumlah tokonya. Pada Minggu (29/9/2019), Forever 21 akhirnya mengumumkan kebangkrutannya dan menuliskan surat kepada para pembeli.

“Setelah kami menuntaskan reorganisasi, Forever 21 akan menjadi perusahaan yang lebih kuat dan lebih layak yang diposisikan dengan hasil baik di tahun-tahun mendatang. Kami berharap dapat terus memberikan layanan yang baik kepada Anda semua dan koleksi barang dagangan yang Anda harapkan dari kami,” tulis Forever 21.

Seorang perwakilan perusahaan mengungkapkan kepada Business Insider bahwa perusahaan berencana untuk menutup sebagian besar toko-tokonya di Asia dan Eropa tetapi akan melanjutkan operasi di AS, Meksiko, dan Amerika Latin.

Secara keseluruhan, Forever 21 akan menutup hingga 178 toko di AS dan sebanyak 350 toko di seluruh dunia.

Waktunya Restrukturisasi

Namun kebangkrutan tidak selalu berarti akhir bagi sebuah perusahaan. Bahkan, ini bisa memberi waktu bagi Forever 21 untuk melakukan restrukturisasi dan bangkit kembali.

“Ini adalah langkah penting dan perlu untuk mengamankan masa depan perusahaan kami, serta akan memungkinkan kami untuk melakukan reorganisasi bisnis kami dan reposisi Forever 21,” terang Linda Chang, Executive Vice Presiden Forever 21, dalam pernyataannya.

Perusahaan mengajukan berkas ke Pengadilan Kepailitan untuk Distrik Delaware berdasarkan Undang-Undang Kepailitan AS Chapter 11. Langkah ini memungkinkan perusahaan untuk tetap beroperasi sambil menyusun rencana untuk membayar kreditur-krediturnya dan membalik keadaan bisnis.

Bloomberg melaporkan bahwa perusahaan telah memperoleh pembiayaan senilai US$275 juta dari sejumlah pemberi pinjaman dengan JPMorgan dan Chase & Co. selaku agen, serta modal baru senilai US$75 juta dari TPG Sixth Street Partners dan dana afiliasinya.

“Pembiayaan yang diberikan oleh JPMorgan dan TPG Sixth Street Partners akan mempersenjatai Forever 21 dengan modal yang diperlukan untuk melakukan perubahan kritis di AS dan luar negeri,” ungkap Chang.

“Tujuannya untuk merevitalisasi brand kami dan mendorong pertumbuhan kami, juga memungkinkan kami untuk memenuhi kewajiban berkelanjutan kepada para pelanggan, vendor, dan karyawan,” pungkasnya.

Sumber : Bisnis, 01.10.19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar