23 Oktober 2019

[231019.ID.BIZ] Importir Kembali Keluhkan Isu Ongkos Logistik


Bisnis.com, JAKARTA — Para importir mengeluhkan tingginya ongkos logistik di pelabuhan meskipun masa penimbunan peti kemas (dwelling time) turun.

Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Anton Sihombing mengatakan ongkos logistik di Indonesia masih terlalu mahal jika dibandingkan dengan negara lain seperti Kamboja dan Vietnam. Hal itu menjadi beban bagi importir yang berdampak kepada harga produk yang dijual importir kepada konsumen.

“Untuk itu kami akan surati Presiden Joko Widodo, bahwa ongkos logistik kita mahal. Buat apa dwelling time turun tapi masih mahal ongkos logistiknya. Pelabuhan Tanjung Priok menjadi bukti, di mana ongkos logistik di sana sangat mahal,” ujarnya, Selasa (22/10/2019).

Di sisi lain, dia mengklaim GINSI tidak pernah dilibatkan dalam penentuan tarif logistik dan jasa kepelabuhan. Menurutnya pemerintah seharusnya melibatkan importir, dalam hal ini GINSI untuk menghitung ongkos logistik tersebut lantaran diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.72/2017 tentang Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhan.

Selain itu, Anton juga meminta pemerintah menambah atau mengubah perusahaan yang diperbolehkan melakukan verifikasi atau pemeriksaan teknis impor (VPTI). Selama ini, menurutnya, dalam sejumlah peraturan menteri perdagangan  terkait dengan mekanisme importasi barang yang harus diverifikasi, pemerintah hanya menunjuk PT Surveyor Indonesia (Persero) dan PT Superintending Company of Indonesia (Persero).

“Kedua perusahaan itu sebentar lagi akan dibentuk holding. Jadi tidak sesuai lagi dengan karakternya sebagai perusahaan verifikasi yang melaksanakan kerjasama operasional (KSO). Pemerintah harus mengganti ketentuan yang meminta hanya kedua perusahaan itu yang melakukan verfikasi impor,” katanya.

Menurut laporan yang dia terima, kedua perusahaan pelaksana verifikasi tersebut sering kali menugaskan perusahaan lain untuk melakukan verifikasi. Alhasil, ongkos pelaksanaan VPTI menjadi membengkak, sehingga membebani importir di sisi biaya logistik importasi.

Adapun, menurutnya terdapat 26 produk impor yang wajib dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor (VPTI). Produk-produk itu adalah tekstil dan produk tekstil, nitro selulosa, beras, garam, prekursor, gula, cakram optik, keramik, mesin printer/fotokopi berwarna, dan limbah non B3.

Selain itu adapula produk elektronika, produk makanan dan minuman, alas kaki, mainan anak-anak, baja (non paduan), kaca lembaran, obat tradisional dan herbal, bahan berbahaya (B2), ban, bahan perusak ozon dan produk hortikultura.

Di samping itu, produk lainnya adalah telepon selular, komputer genggam (handheld), dan komputer tablet, pakaian jadi, kosmetika, semen clinker dan semen, tepung gandung serta baja paduan.

Menurutnya apabila kendala-kendala yang dialami para importir tersebut tidak segera diperbaiki, maka akan menganggu daya saing Indonesia di sektor perdagangan maupun investasi.

Menanggapi hal tersebut ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu memeriksa tingkat efektivitas importasi di Indonesia. Masih tingginya ongkos logistik importasi di tengah turunnya tingkat dwelling time seharusnya menjadi perhatian yang besar bagi pemerintah.

“Kita ini sedang berpacu dengan negara lain untuk memberikan servis yang baik bagi investor. Kalau persoalan seperti biaya logistik untuk importasi saja masih mahal, tentu investor akan berpikir ulang untuk masuk,” katanya.

Di sisi lain, dia juga mendukung usulan GINSI untuk menambah jumlah perusahaan pelaksana VPTI yang ada di Indonesia. Hal itu dibutuhkan untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat sehingga berpeluang membuat biaya verifikasi yang ditanggung importir menjadi lebih terjangkau.

Sumber : Bisnis, 23.10.19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar