16 Januari 2019

[160119.ID.BIZ] Benarkah UU Ketenagakerjaan di Indonesia Sudah Tidak Relevan?


Bisnis.com, JAKARTA — Amandemen UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dinilai sangat mendesak dilakukan lantaran sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan kondisi industri domestik saat ini.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit mengatakan, UU Ketenagakerjaan sudah usang dan tidak bisa lagi bisa menjawab tantangan di dunia ketenagakerjaan saat ini.

“Memang sudah ada rencana untuk merevisi UU ini dan isunya sudah bergulir lama. Namun, ini harus segera dilakukan pada tahun ini dan tahun depan karena memang reformasi tenaga kerja dan amandemen ini perlu,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (14/1/2019).

Adapun, para pelaku industri menilai, salah satu poin yang perlu direvisi dalam aturan itu yakni terkait dengan pemberian pesangon. Di dalam regulasi, pesangon bisa diberikan lebih dari 32 kali lipat gaji bulanan apabila suatu perusahaan tutup atau pailit.

Padahal, tegas Anton, investasi tak selalu membawa untung. Ketika investor menanam modal selama 10 tahun, tetapi akhirnya perusahaannya tutup dan harus membayar 32 kali gaji, tentu akan sangat memberatkan perusahaan.

Menurutnya, keberadaan UU ini juga tak sesuai dengan kemajuan ekonomi digital dan kondisi dunia usaha saat ini. “Ada banyak poin yang harus direvisi, saya harus cek lagi detailnya,” katanya.

Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, aturan ketenagakerjaan sekarang membuat fleksibilitas dalam pembukaan lapangan pekerjaan menjadi bermasalah.

Saat ini terdapat perubahan pola antara pemberi kerja dan penerima kerja. Jika dulunya pola pengupahan didominasi oleh relasi pemberi dan penerima upah, saat ini berubah menjadi sistem kemitraan antara pengusaha dan masyarakat.

“Contohnya, perusahaan Go-Jek, di mana saat ini mereka menggunakan program kemitraan. Aturan tenaga kerja saat ini tak bisa mengakomodasi itu sehingga perlu diubah,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, investasi yang masuk ke Indonesia sejak 2010 hingga 2018 mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Namun, angka penyerapan lapangan kerja pada periode tersebut sangat kecil.

“Pada 2010, penyerapan tenaga kerja per Rp1 triliun [investasi] mampu menyerap 5.020 pekerja. Namun, pada 2016 hanya bisa menyerap 2.200 pekerja dan ini berbeda dari tahun kemarin yang penyerapan tenaga kerjanya semakin sedikit,” ucapnya.

Ditambah lagi, tutur Hariyadi, kebijakan kenaikan upah minimum yang sesuai dengan kondisi ekonomi dan inflasi juga berdampak pada banyak terpuruknya iklim industri, terutama untuk yang skala kecil.

Pasalnya, pemerintah menganggap industri di Tanah Air ini mampu mengikuti standar upah yang ditetapkan dan mereka yang tak mampu mengikuti mau tak mau harus tutup.

“Sentra-sentra padat karya seperti di Jawa Barat banyak yang tutup semua karena enggak bisa bertahan, terutama untuk skala kecil, sehingga UU ini memang sangat mendesak direvisi. Saat ini, yang kebanyakan investasi di sini itu industri padat modal, seperti perusahaan dagang-el,” tuturnya.

Menurutnya, lesunya angka serapan tenaga kerja juga dipicu oleh terjadinya ketidaksinkronan antara kompetensi yang dimiliki tenaga kerja dengan kebutuhan industri.

Hal ini menjadi permasalahan yang harus diselesaikan bersama karena setiap tahunnya angkatan kerja bertambah, tetapi berbanding terbalik dengan jumlah serapan tenaga kerja.

“Keadaan industri ini tidak dalam keadaan baik, karena [kapasitas] industri dalam menyerap [tenaga kerja] kecil. Ditambah lagi, kita menyongsong industri 4.0 yang menuntut peningkatan efisiensi ekonomi. [Angkatan kerja] Keluar perusahaan [formal], lalu membuat usaha sendiri yang bekerja sama dengan perusahaan dagang-el. Mereka juga rentan terkena perubahan pasar ke depannya,” terangnya.

Meski pemerintah memiliki program 10 juta lapangan kerja dalam waktu 5 tahun, lanjutnya, target tersebut harus diimbangi dengan pemetaan yang jelas terhadap sektor industri mana saja yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

“Saya menduga program pemerintah ini kebanyakan [untuk pekerjaan] informal dan yang produktivitasnya rendah,” ujar Hariyadi.

KENAIKAN PRODUKTIVITAS

Di sisi lain, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui, penyerapan lapangan kerja dalam beberapa tahun terakhir tidak didukung dengan peningkatan produktivitas. Produktivitas Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Bambang memaparkan, sebesar 60% pekerja Indonesia bergerak di sektor informal yang produktivitasnya kurang, sementara 40% lainnya di sektor formal.

“Bagaimana kita mau sejajarkan diri dengan negara tetangga? Di sini kekurangan basis sektor [lapangan kerja] yang punya produktivitasnya tinggi, serta kekurangan sarana dan prasarana pelatihan, baik untuk angkatan kerja baru maupun tenaga kerja aktif. Mereka kesulitan melakukan upskilling dan reskilling,” ucapnya.

Selain itu, kata Bambang, lebih dari 55% orang yang lulus pendidikan formal tidak memiliki kompetensi khusus. Sektor pendidikan di Indonesia juga dinilai hanya fokus pada sisi akademis saja, tetapi kurang ada penekanan dari sisi softskill.

“Di Vietnam, hanya 14% yang lulus pendidikan formal tapi tidak bisa meningkatkan kompetensi. Memang, Indonesia baru berhasil di pendidikan formal, tapi meningkatkan kualitas SDM masih ketinggalan,” tutur Bambang.

Dia menyebutkan, revolusi industri 4.0 yang terjadi menyebabkan perubahan besar pada sektor ketenagakerjaan akibat banyak lapangan pekerjaan yang hilang dan digantikan otomatisasi.

“Ditambah lagi, ada kekurangan tenaga menengah dan tenaga ahli. Contohnya profesi insinyur. Ada lulusan 600.000 insinyur, tetapi yang aktif atau bekerja sesuai profesinya hanya 9.000 orang,” ujarnya.

Guna menjembatani permasalahan itu, pemerintah memiliki program skill development fund (SDF) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024 yang tujuannya memberikan kemudahan bagi tenaga kerja yang aktif maupun yang baru masuk untuk upskiling dan reskiling.

“Sekarang terhambat karena lembaga pelatihan tidak terlalu banyak dan biayanya dianggap memberatkan. Dengan skill development fund, kami harapkan sebagian kendala bisa teratasi, sehingga tipe pekerjaan yang terancam oleh revolusi industri 4.0 bisa digantikan dengan kompetensi yang lain,” kata Bambang.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani  menuturkan, pmempersiapkan SDM yang berkualitas harus dilakukan sejak dini.  Untuk itu, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp660 triliun untuk pendidikan dan kesehatan pada 2019. Besarnya anggaran tersebut dipersiapkan untuk investasi SDM di Tanah Air.

“Untuk pendidikan, alokasi anggaran yang disiapkan sebesar Rp495 triliun. Sementara itu, di sektor kesehatan, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp120 triliun,” katanya.

Sumber : Bisnis, 15.01.19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar