23 April 2010

[ID-BIZ] KA Parahyangan Ditutup, "So What ?"


Oleh: Haryo Damardono
KOMPAS.com- Agus Aimansyah, pentolan Kereta Rel Listrik Mania, Kamis (22/4/2010), mengirimkan pesan singkat. "Saya minggu depan mau naik Parahyangan, last trip dengan kereta itu. Mau ikut?" tanya dia. Sungguh, sebuah ajakan yang sangat menggelitik. Sayangnya, saya masih di Eropa, terjebak kekacauan penerbangan di benua ini.

Beberapa hari mendatang, PT Kereta Api memang berencana menutup kereta rute Jakarta-Bandung itu. Beberapa pihak menyayangkannya, ada yang berpendapat bahwa penutupan KA Parahyangan menunjukkan ketidakberpihakan PT Kereta Api terhadap penumpang yang tak mampu membayar mahal. Ada yang menekankan, betapa Parahyangan telah melegenda sehingga tak layak ditutup.

Salah satu alasan terkuat penutupan layanan kereta itu adalah PT KA merugi di rute tersebut. KA Parahyangan yang tersohor selama beberapa dekade telah habis-habisan dilibas angkutan travel yang merajai Jalan Tol Jakarta-Cikampek-Bandung. KA Parahyangan pun kehilangan penumpangnya. Kereta itu hilir-mudik dengan sedikit penumpang, seolah kereta hantu.

"Kenapa ada yang menolak penutupan Parahyangan? Ditutup saja kalau merugi!" kata pengamat kereta api, Taufik Hidayat, tanpa tedeng aling-aling. Taufik menegaskan pentingnya sisi komersial kereta api, yang mutlak harus dijaga untuk mempertahankan operasional kereta.

Bila rapor keuangan Parahyangan merah, bahkan merah membara, dikhawatirkan malah mengganggu rute-rute kereta lainnya. Alhasil, mempertahankan KA Parahyangan hanyalah memperkeruh kondisi perkeretaapian kita.

Pernyataan Taufik seolah-olah melawan arus. Namun, bila dipahami, dia mengungkapkan realitas yang harus dihadapi. Sebuah kereta (baca: layanan kereta di ruas tertentu) harus fleksibel dan mampu dievaluasi tiap saat. Terlebih, PT Kereta Api tak boleh merugi agar mampu melayani penumpang dengan maksimal. Level keuntungan perlu dijaga agar PT Kereta Api dapat berinvestasi membeli sarana baru.

Penutupan kereta Parahyangan, bila dicermati, mengajarkan beberapa hal; utamanya menyangkut ketidakberpihakan terhadap kereta api sebagai angkutan massal. Ketidakadilan pertama adalah kita membiarkan kereta yang membeli bahan bakar industri bertarung dengan angkutan darat dengan bahan bakar bersubsidi.

Bila ingin harga tiket kereta lebih murah lagi sehingga masyarakat beralih ke angkutan kereta, mengapa tidak menyubsidi solar bagi kereta? Atau sebaliknya, melepas harga bahan bakar kendaraan pribadi maupun angkutan darat ke harga pasar?

"Matinya kereta Parahyangan menunjukkan pemerintah omong kosong dalam kebijakan angkutan yang ramah lingkungan. Harusnya, keberpihakan itu ditunjukkan dengan menyubsidi BBM kereta," ujar ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno.

Dibukanya keran izin angkutan travel oleh pemerintah juga menunjukkan betapa pemerintah, setidaknya di ruas Jakarta-Bandung, tak peka dengan isu kemacetan. Untuk mereduksi kemacetan, bukankah lebih baik mendorong bus berkapasitas lebih besar (double decker) daripada memperbanyak izin bagi lebih banyak lagi armada travel?

Lantas, matinya Parahyangan juga mengajarkan masih buruknya sistem transfer antarmoda di sektor perkeretaapian. Bila travel memanjakan penumpangnya dengan perjalanan dari titik ke titik (point to point), sebaliknya, penumpang Parahyangan tak dapat dengan mudah menggunakan jaringan kereta rel listrik di Jabodetabek karena KRL ekonomi tak boleh berhenti di Stasiun Gambir.

Buruknya koneksi antarmoda di Gambir, misalnya, tak pelak membuat kereta sulit mengungguli angkutan travel dari sisi waktu tempuh. Bila Anda tinggal di Pasar Minggu, misalnya, apakah mau pergi ke Gambir dulu baru naik kereta ke Bandung? Maukah naik KRL yang penuh sesak?

Bilamana jaringan kereta intrakota tak dibenahi, tentu saja warga lebih memilih naik travel dari titik-titik terdekat langsung ke Bandung. Terkecuali, ada KRL yang nyaman, atau jaringan busway yang menggurita sehingga murah dan cepat untuk menjangkau Gambirstation centre.

Apalagi, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab di bidang prasarana perkeretaapian belum tuntas membangun jalur rel ganda Jakarta-Bandung sehingga masih ada waktu tunggu persilangan (crossing). Ini menyebabkan waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi sekitar tiga jam, kalah cepat dengan mobil yang rata-rata 2,5 jam.

Jadi, bila ingin Parahyangan tetap ada, hambatan-hambatan dan persoalan-persoalan harus dicari solusinya. Berikan saran membangun agar Parahyangan tetap beroperasi. Romantisme memang baik, tetapi jangan sampai membunuh rute-rute lainnya, atau malah mematikan PT Kereta Api.

Sumber : Kompas, 22.04.10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar