21 Mei 2010

[ID-BIZ] Waspadai Dampak Dari Krisis Eropa

TOKYO, KOMPAS.com - Perekonomian Asia mesti mengantisipasi gejolak krisis keuangan yang terjadi di Eropa, dengan pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang baik. Dampak secara langsung sejauh ini sangat terbatas, tetapi secara jangka panjang bisa berpengaruh negatif jika krisis itu berlangsung lama.

Krisis tadi bisa menimbulkan dampak jatuhnya permintaan di Eropa yang kemudian memengaruhi permintaan akan produk ekspor dari negara-negara Asia.

”Outlook ekonomi Asia cukup positif. Namun, (terkait krisis Eropa) tentu ada beberapa risiko yang mesti diwaspadai.

Khusus Indonesia, saya kira sejauh ini kecil sekali dampak langsungnya,” kata Presiden Bank Pembangunan Asia Haruhiko Kuroda menjawab Kompas di sela-sela Konferensi tahunan ”The Future of Asia”, Kamis (20/5/2010) di Tokyo.

Konferensi tahunan yang sudah ke-16 kali diselenggarakan Nikkei itu juga melibatkan beberapa media regional sebagai mitra, termasuk Kompas dan Straits Times, Singapura.

Menurut Kuroda, pemulihan ekonomi di G3 (Eropa, AS, dan Jepang) mungkin berbalik. Meski sejauh ini dampaknya di Asia terbatas, krisis utang pemerintah Eropa dapat membuat rentan pemulihan ekonomi di sana. ”China mungkin kesulitan mengatasi pemanasan ekonomi,” katanya.

Dalam kondisi demikian, menurut Kuroda dalam presentasinya, untuk memelihara pertumbuhan ekonomi di kawasan, Asia mungkin akan mengetatkan kebijakan moneter sebelum kawasan lain.

Ini berarti yield dan apresiasi mata uang meningkatkan aliran modal, yang memerlukan pengelolaan makroekonomi secara hati-hati. Rancangan dan waktu yang tepat bagi stimulus exit strategy menjadi krusial.

”Koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal serta regulator sektor finansial merupakan exit strategy yang esensial. Bank sentral dan Kementerian Keuangan mesti bekerja sama untuk menghindari keterlambatan atau kecepatan bertindak. Hindari terjadinya too little too late atau too much too soon,” katanya.

Untuk tingkat regional, menurut Kuroda, koordinasi kebijakan yang lebih baik terhadap nilai tukar akan membantu pengelolaan makroekonomi dan menekan kemungkinan anjloknya daya saing ekspor di antara negara tetangga.

Kuroda menjelaskan, perkiraan terkini dari ADB menunjukkan, pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan produk domestik bruto negara berkembang Asia sekitar 7,5 persen tahun ini, jauh di atas 5,2 persen tahun lalu.

Asia Timur diperkirakan memimpin pemulihan dengan perkiraan pertumbuhan 8,3 persen tahun ini. China akan mencapai 9,6 persen, sementara Korea Selatan tumbuh 5,2 persen.

India juga menunjukkan pemulihan yang kuat, seperti China yang semakin menguat permintaan domestiknya. Ekspansi ekonomi India diperkirakan 8,2 persen tahun ini.

Sementara itu, negara ASEAN yang tahun lalu perekonomiannya mengalami kontraksi, seperti Brunei, Kamboja, Malaysia, Singapura, dan Thailand, diperkirakan kembali tumbuh signifikan tahun ini.

Indonesia sendiri tahun ini diperkirakan tumbuh sekitar 5,7 persen, setelah tahun lalu tumbuh 4,5 persen.

Indeks saham melemah

Krisis keuangan di Eropa masih mempengaruhi perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta. Investor yang khawatir atas penyelesaian krisis keuangan di Eropa kembali melakukan aksi jual saham secara besar-besaran.

Akibatnya, indeks harga saham kembali anjlok. Selama bulan Mei, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 277 poin atau 9,3 persen.

Pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Kamis (20/5), IHSG kembali melorot, yaitu 35 poin atau 1,29 persen ke level 2.694. Indeks LQ45 turun 7,7 poin atau 1,47 persen menjadi 516,7 dan Indeks Kompas100 turun 1,45 persen menjadi 645,4.

Penurunan indeks harga saham utama dalam negeri ini merupakan penurunan yang ketiga kalinya dalam sepekan.

Bila dihitung posisi penutupan pada 30 April 2010 di level 2.971, posisi penutupan IHSG kemarin telah anjlok hingga 277 poin atau 9,3 persen. (REI/Andi Suruji, dari Tokyo)

Sumber : Kompas, 21.05.10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar