15 Januari 2011

[150111.ID.BIZ] Integrasi Industri TPT Asean Dihadang Masalah Logistik Dan Tarif

NUSA DUA, Bali : Integrasi sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di kawasan Asean dihadapkan pada tantangan perbaikan logistik akibat infrastruktur di negara-negara anggota yang masih terbatas dan masalah tarif.

Melalui integrasi dan kerjasama yang kuat, industri TPT Asean diharapkan menjadi satu kekuatan baru di kancah perdagangan global dan mengantikan superioritas China di masa yang akan datang. Asean sebagai superior dalam perdagangan TPT dunia ditargetkan tercapai maksimal pada 2020 atau paling cepat 2015.

Chairman Asean Federation of Textile Industries (Aftex) Ade Sudrajat Usman mengatakan Asean dengan populasi hampir 600 juta penduduk memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan skala industri TPT-nya menjadi lebih kuat dibandingkan dengan negara-negara lain.

"Kami akan melanjutkan program-program yang telah dirintis, yaitu bagaimana mengintegrasikan industri TPT di Asean menjadi satu kekuatan yang berbicara di dunia dan menjadi superior menggantikan China.

Kita ingin menjadi nomor satu maksimal pada 2020, mudah-mudahan pada 2015 sudah tercapai,” kata Ade seusai terpilih sebagai Chairman Aftex menggantikan Van Sou Ieng dari Kamboja pada gelaran Aftex 29th Council Meeting dan 26th Plenary Meeting, hari ini.

Ekspor apparel Asean ke pasar Amerika Serikat (AS) saat ini menempati peringkat kedua di belakang China, begitu juga di pasar Eropa. Sementara itu, Asean menempati peringkat ke-5 untuk impor tekstil ke AS, dimana China berada diurutan teratas di susul Asia Selatan.

Dari total transaksi bisnis tekstil dunia sebesar US$600 miliar, China meraup pangsa pasar sebesar 38%, sedangkan Asean hanya kurang dari 5% (US$30 miliar) dan Indonesia hanya 2%.

Untuk mewujudkan tercapainya integrasi Asean di sektor industri TPT, Ade menjelaskan ada pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi yakni pertama, tarif dan kedua, logistik.

“Tarif ini antara Asean dengan negara-negara ketiga yang masih harus disamakan persepsinya. Harmonisasi tarif untuk Asean sekarang sudah 0%,” ujar Ade yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Dia menegaskan masalah logistik menjadi salah satu hal yang cukup krusial, karena baik Indonesia maupun negara-negara anggota lainnya, kecuali Malaysia dan Singapura, masih dihadapkan pada infrastruktur yang belum memadai.

“Kita [Asean] masih kuat di berbagai sektor, hanya masih ada kelamahan di logistik. Tentu Indonesia, Vietnam, Thailand serta lainnya harus segera menyusul Malaysia dan Singapura yang infrastrukturnya bagus. Kita [kawasan Asean] transportasi melalui laut dan China via daratan, sementara itu kita belum memiliki perusahaan pelayaran yang besar.”

Untuk itu, tegas Ade, diperlukan kolaborasi dan kerjasama kuat antar negara Asean, termasuk memberi masukan ke pemerintah masing-masing guna mendukung pertumbuhan industri.

Menteri Perindustrian M.S Hidayat yang hadir membuka pertemuan Aftex tersebut mengatakan seluruh produsen TPT di kawasan Asean diajak untuk saling bersinergi agar bisa membentuk kawasan terintegrasi mampu menyuplai seluruh kebutuhan TPT dunia.

Menurut Hidayat, saat ini sektor industri TPT merupakan salah satu kekuatan Asean dalam menghadapi era persaingan bebas. Sektor industri ini juga turut berperan besar dalam pembangunan industri, perekonomian dan perdagangan di kawasan Asean. Namun kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing negara di Asean tersebut belum disinergikan secara optimal.

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki struktur industri TPT yang lengkap dan terintegrasi, Thailand dikenal dengan teknologi tingginya, Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan di sektor garmen. Demikian halnya dengan Malaysia, Laos, Myanmar dan Filipina.

Selain itu, Asean juga memiliki Singapura sebagai jalur utama perdagangan dunia yang harus dimanfaatkan demi kelancaran perdagangan produk TPT baik ekstra maupun intra Asean.

“Karena kita memounyai kepentingan yang sama dalam memasarkan tekstil, jadi antar negara Asean jangan bersaing, tapi bersinergi punya kebijakan bersama menuju global market. Menghadapi Asean Economic Community 2015, kebijakan harus satu, tidak ada ketentuan yang berbeda dalam hal investasi dan peraturan ekonomi di antara negara anggota,” papar Hidayat.

Yang menjadi persoalan bagi Indonesia, lanjut Hidayat, adalah apakah negara ini benar-benar siap dalam menghadapi Asean Economic Community, sehingga jangan sampai nanti hanya menjadi pasar dan tidak ada produksi yang dibangun karena kalah bersaing dalam efisiensi.

Van Sou Ieng menegaskan induutri TPT Indonesia saat ini sangat kuat dari hulu ke hilir karena menjadi salah satu pemasok, termasuk bahan baku, di pasar Asean. Ke depan, Indonesia memiliki potensi yang kuat untuk menyuplai kebutuhan bahan baku industri TPT di Asean, menyusul kelangkaan bahan baku seperti kapas di India dan China.

“Kamboja akan membeli bahan baku dari Indonesia. Kami membelanjakan US$1,5 miliar untuk bahan baku (fiber dan yarn). Pemerintah Indonesia diharapkan menghapus hambatan perdagangan pada custom clearance, logistik, dan memfasilitas ekspor dan impor di Asean,” tambahnya.

Van Sou Ieng menambahkan Asean memiliki potensi untuk menangkap pergeseran industri garmen China, seiring kian mahalnya harga produk garmen asal Negara Tirai Bambu tersebut.

Kondisi ini disebabkan ongkos buruh di China yang terus naik seiring peningkatan daya beli dan masalah internal lainnya.

“Kamboja telah menangkap dan Indonesia juga. Mereka akan tumbuh ke Asean, India dan Bangladesh. Asean lebih kredible dari negara-negara sumber [produsen] lainnya karena kekuatan suplai bahan baku. Ekspor China lebih d ari US$36 miliar-US$37 miliar, kalau kita bisa menangkap 10%-20% tentu sudah bagus,” paparnya.

Ade menambahkan industri garmen di China mulai bergeser ke Asean, tetapi tidak untuk industri tekstil yang diperkirakan tetap kuat hingga 20 tahun ke depan. Pergeseran (relokasi) industri garmen tersebut mempertimbangkan biaya tenaga kerja yang lebih murah di kawasan Asean yakni sekitar US$61.

“Upah minimum di Indonesia sekitar US$130, China sudah US$340. Pada era 1980, upah kerja di China masih di bawah Indonesia. Sekarang kita harus bisa menjual ke China, investor yang relokasi ke Indonesia juga untuk memeuhi pasar domestik mereka karena harga yang bagus,” tutup Ade. (ra)

Data perdagangan intra-Asean 2007-2008 (US$miliar)
Tahun Nilai
2007 50,8
2008 55,03

- Nilai ekspor industri TPT regional Asean pada 2008 sebesar 35,74 miliar.
- Sekitar 10% dari total ekspor merupakan perdagangan antar sesama negara Asean.
- Nilai ekspor produk TPT tertinggi pada 2008 dari Asean diduduki produk pakaian jadi US$24,34 miliar
- Nilai impor produk TPT Asean pada 2008 sebesar US$19,28 miliar, dimana nilai impor terbesar adalah kapas dan serat buatan.

Sumber: Kemenperin-Bisnis Indonesia, 14.01.11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar