11 September 2011

[110911.ID.BIZ] Ekspor Bahan Mineral Dicegah, Produk Impor Dipajaki

JAKARTA: Pemerintah menyiapkan disinsentif berupa bea keluar bagi empat bahan mineral dasar dan pajak tambahan bagi produk impor tertentu yang basis industrinya berada di luar negeri.

Menteri Perindustrian M. S. Hidayat mengungkapkan disinsentif itu diperlukan untuk mencegah ekspor bahan baku secara besar-besaran sehingga menghabiskan cadangan dan tidak mendorong industri hilir di dalam negeri.

Menurut dia, bea keluar komoditas mineral dasar itu segera diterapkan untuk ekspor bauksit, tembaga, nikel, serta iron ore dan pasir besi.

“Rencana kami adalah mengefektifkan verifikasi ekspor, memberlakukan bea keluar, dan targetnya melarang ekspor mineral-mineral tersebut setelah 2014,” katanya Rabu, 7 September.

Indonesia memiliki kandungan 700 juta ton bauksit, 1,7 miliar ton tembaga, 1,4 miliar ton nikel, 321 juta ton iron ore, dan 32 juta ton pasir besi. Produksi bauksit per tahun mencapai 15 juta ton, nikel 3,27 juta ton, iron sand 1,9 juta ton dan iron ore 8,6 juta ton yang semuanya diekspor.

Adapun produksi tembaga konsentrat setiap tahun sekitar 2,8 juta ton, yang 1,7 juta ton di antaranya diekspor.

Dirjen Basis Industri Manufaktur Panggah Susanto mengharapkan aturan mengenai bea keluar bahan mineral tersebut dapat diterapkan mulai November tahun ini.

“Saya rasa bisa diterapkan November. Sepertinya paling cepat adalah iron ore, iron sand dan bauksit. Setelah itu, baru tembaga dan nikel pada waktu yang bersamaan,” katanya.

Terpisah, Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan pihaknya sedang menggodok daftar insentif yang diperlukan industri logam tertentu, yakni tembaga, besi, nikel, timah, bauksit, dan emas.

“Yang utama untuk pengolahan dan pemurnian, khususnya enam logam utama itu. Jadi yang berusaha di bidang itu, kami harapkan bisa dapat insentif, apa pun bentuknya,” ujarnya.

Selain bahan mineral, Kemenperin akan meneruskan program hilirisasi komoditas sumber daya alam terbarukan, yaitu kelapa sawit, kakao, dan rotan.

“Untuk kelapa sawit dan kakao, bea keluar produk hilir harus lebih rendah dari bea keluar bahan baku. Untuk rotan, kami mengharapkan larangan ekspor seluruhnya kecuali [rotan] budidaya,” kata Hidayat.

Sebaliknya, jelas Menperin, pemerintah juga menyiapkan insentif berbentuk keringanan pajak penghasilan (PPh) badan atau tax allowance atau penundaan PPh badan selama periode tertentu atau tax holiday bagi investasi di sektor industri yang berkaitan dengan sumber daya alam tersebut.

“Bulan lalu kan sudah terbit tax holiday dan nanti akan ada tax allowance yang akan mendorong industri-industri tersebut tumbuh pesat,” ungkap Hidayat.

Dia mengharapkan program hilirisasi mineral tambang mendorong ketersediaan bahan baku bagi industri aluminium, kabel, komponen elektronik, dan baja nirkarat.

Di sektor perkebunan, Menperin menargetkan investasi bernilai hingga US$3 miliar di tiga klaster industri kelapa sawit yang akan memunculkan 43 jenis industri hilir.

Saat ini, menurut dia, sudah ada komitmen investasi baru dari Wilmar Group, Permata Hijau Group, Domba Mas, dan PTPN III.

Wilmar Group dan Permata Hijau Group akan membangun pabrik integrated oleochemical dengan investasi masing-masing US$900 juta dan Rp2 triliun. Domba Mas akan membangun pabrik fatty acid dan fatty alcohol bernilai US$180 juta, sementara PTPN III siap membangun kawasan industri dan pabrik olekimia bernilai Rp3 triliun.

Dirjen Industri Agro Benny Wahyudi menjelaskan program hilirisasi kelapa sawit menggunakan bea keluar yang baru akan terealisasi pada 2013. “Pada 2014 saya kira kontribusi ekspor produk hilir kelapa sawit akan mencapai 70% dan hanya 30%-nya ekspor CPO,” kata Benny.

Di sektor kakao, lanjut Hidayat, delapan perusahaan pengolahan kakao juga berkomitmen melakukan ekspansi dari kapasitas 189.000 ton per tahun menjadi 282.000 ton per tahun bernilai US$45 juta dan satu investasi baru oleh perusahaan Malaysia di Batam.

Disinsentif produk impor

Selain disinsentif ekspor bahan mineral, pemerintah juga menyiapkan aturan untuk mendorong peralihan produksi barang impor tertentu ke dalam negeri. Aturan itu bertujuan memberikan disinsentif bagi perusahaan yang produknya laris di pasar domestik tetapi berproduksi di luar negeri.

“Disinsentif tersebut untuk mendorong pabrikan yang pasarnya besar di dalam negeri untuk paling tidak merakit produknya di Indonesia,” kata Hidayat.

Disinsentif itu berupa perbedaan tarif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) antara produk berjenis sama yang diproduksi di luar negeri dengan produk yang dirakit di dalam negeri.

“Bahkan bagi perusahaan yang komponen lokalnya memenuhi persyaratan tertentu, PPnBM-nya akan dibebaskan,” kata Hidayat.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan mengatakan pemerintah sedang mengkaji disinsentif bagi perusahaan yang hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produknya yang dibuat di negara lain.

“Kita kecolongan, Research In Motion bangun pabrik di Malaysia, padahal penjualan Blackberry di Indonesia mencapai 4 juta unit tahun depan. Harganya rata-rata US$300 per unit. Padahal, di Malaysia mereka tidak akan bisa jual lebih dari 400.000 unit,” ujarnya seusai rapat koordinasi di Kantor Menko Perekonomian.

Contoh lain, ungkap Gita, yakni Bosch yang memproduksi panel tenaga surya di Malaysia, tetapi perusahaan Jerman itu memiliki kepentingan penjualan di Indonesia yang cukup besar. “Bentuk-bentuk usaha semacam itu perlu penyikapan serius dari pemerintah, bisa melalui kebijakan tarif ataupun nontarif.”

Menurut dia, rapat koordinasi menerima konsep disinsentif tersebut. Intinya, selama perusahaan itu tidak membangun pabrik di Indonesia akan dikenakan disinsentif sampai mereka membangun pabrik di sini.

Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Budi Darmadi mengatakan pemerintah tidak ingin perusahaan yang menikmati keuntungan di Indonesia justru membangun pabriknya di negara tetangga.

Apalagi, tuturnya, produsen domestik sebenarnya sudah mampu memproduksi telepon seluler dan komputer jinjing dengan kandungan lokal bervariasi.

“Saat ini ada tujuh sampai delapan merek laptop lokal dengan kandungan lokal antara 25%--30%. Produsen ponsel lebih banyak lagi dengan kandungan lokal bisa mencapai 40%,” ungkap Budi.

Budi menambahkan pembebasan PPnBM juga akan diberikan bagi kendaraan roda empat yang diproduksi di dalam negeri untuk jenis multipurpose vehicle, sport utility vehicle, dan kabin ganda.

“Dengan syarat industri tersebut ramah lingkungan dan menjanjikan alih teknologi ke Indonesia,” katanya.

Hidayat mengungkapkan Kemenperin mengusulkan penyusunan daftar industri negatif (DIN) untuk penanaman modal asing bagi industri berteknologi rendah, seperti mesin cuci, setrika, atau televisi berukuran kecil.

“Produk yang sudah bisa dibuat di dalam negeri akan dibatasi investasinya, kecuali untuk ekspansi pabrik yang sudah ada,” katanya.

Selain itu, Kemenperin menyusun peraturan untuk mengurangi penggunaan mesin dan kapal bekas impor. Usia kapal bekas impor akan diturunkan dari 20 tahun menjadi 15 tahun, sedangkan usia mesin bekas impor maksimal 10 tahun.

Budi mengatakan industri galangan kapal lokal Indonesia sudah mampu memproduksi kapal untuk kebutuhan dalam negeri dan mulai mendapatkan pendanaan dari perbankan nasional.

“Sebelumnya, bank lokal agak ragu karena kapal itu aset bergerak, tetapi sekarang Mandir, BNI, dan beberapa bank swasta lokal sudah mulai percaya setelah diperkenalkan dengan teknologi tracking dan GPS,” kata Budi.

Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulsito mendukung rencana pemerintah menerapkan disinsentif yang bertujuan mendorong pertumbuhan industri manufaktur.

“Saya kira usulan-usulan itu positif, apalagi jika didukung dengan kebijakan tax allowance dan tax holiday,” katanya.

Bambang Permadi Sumantri Brodjonegoro, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengatakan disinsentif produk impor yang basis produksinya di luar negeri dan eksportir bahan mentah baru sebatas usulan yang perlu dibahas lebih lanjut.

Menurut dia, opsi untuk melakukan hambatan tarif tidak mungkin dilakukan karena Indonesia terikat pada banyak perjanjian perdagangan bebas.

“Jadi harus menggunakan cara lain. Hambatan tarif kan tidak gampang karena FTA. Kalau [penambahan] PPN dan PPnBM itu dipikirkan dulu karena kalau dibuat atau ditambahkan, takutnya penyelundupan semakin banyak. Pemikirannya oke, cuma instrumennya yang perlu dicari,” katanya (04/14)

Sumber : Bisnis Indonesia, 08.09.11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar