03 Februari 2012

[030212.ID.BIZ] Arah Bisnis & Politik 2012: Ayo Berselancar Dalam Gelombang Krisis

Kekuatan imbas krisis global terhadap perekonomian Indonesia pada tahun depan masih menjadi tanda tanya bagi pelaku bisnis dan juga kalangan ekonom. Apakah Tanah Air bakal ikut terseret cukup jauh oleh arus krisis atau sebaliknya; selamat, bahkan surfing dengan menaklukkan gelombang.

Saat ini, perekonomian Indonesia tengah berada dalam dua persimpangan jalan yang saling berdekatan dan tanpa sekat. Tidak ada jaminan ketika satu arah yang ditempuh akan permanen karena banyaknya kendala dan kondisi licinnya jalan

Kedua pilihan arah jalan itu adalah menjadikan tahun depan sebagai titik balik perekonomian atau ikut dalam arus keresahan atas risiko perlambatan ekonomi.

Untuk arah yang pertama, pintu sebenarnya sudah terbuka sangat lebar setelah Fitch Ratings mengganjar utang jangka panjang Indonesia dengan peringkat BBB- dari posisi sebelumnya BB+ dan peringkat utang jangka pendek dengan nilai F3 prospek stabil. Adapun opsi kedua adalah larut di dalam risiko perlambatan perekonomian global.

Beberapa lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia jauh-jauh hari sudah menurunkan prospek pertumbuhan perekonomian 2012 untuk Indonesia masing-masing menjadi 6,3% dan 6,2%.

Angka ini memang lebih pesimistis jika dibandingkan dengan asumsi dasar APBN 2012 yang memasang proyeksi pada posisi 6,7%. Dasar pertimbangan proyeksi kedua lembaga dunia itu sama, faktor krisis global yang dapat berimbas terhadap nilai perdagangan.

Masalah structural adjustment di AS dan terutama ketidakpastian di Eropa telah memberikan keyakinan bakal terjadinya penurunan permintaan atas produk ekspor dari negara-negara yang menjadi mitra dagang.

Secara khusus Bank Dunia telah memperkirakan laju perdagangan tahunan Indonesia pada 2012 untuk mitra dagang utama akan menyusut dari 3,9% menjadi 3,5%.

Dengan kondisi ekspor yang melemah tersebut, kinerja impor justru diperkirakan dapat meningkat. Ini terutama untuk permintaan barang modal dan bahan baku penolong yang dipakai oleh perusahaan domestik dan asing di tanah air.

Kondisi ini diperlemah oleh prediksi penurunan harga komoditas dunia sehingga neraca berjalan pada 2012 akan mengalami defisit US$1,7 miliar. Ekspor yang melemah itu telah merevisi perkiraan Bank Dunia sebelumnya atas surplus dagang sebesar US$0,3 miliar.

Di balik laju ekspor yang akan melambat itu, arus investasi masih dipertanyakan arahnya. Aliran dana diperkirakan akan mondar-mandir mencari tempat yang aman atau yang disebut safe haven.

Menjadi tantangan Indonesia untuk menjadi salah satu safe haven dunia sekaligus peluang guna mendorong investasi fisik guna menyokong pertumbuhan dengan memanfaatkan gelar investment grade. Pasalnya, dengan investment grade, arus modal diperkirakan akan semakin deras, baik dalam investasi portofolio maupun investasi fisik (pembentukan modal tetap bruto).

Yang menjadi pertanyaan, pemerintah akan memilih jalan yang mana? Tentu saja, jawabnya pasti jalan pertama. Keinginan untuk memacu ketertinggalan ekonomi dengan negara tetangga setelah sekian lama terpuruk seakan memberi tenaga baru setelah pengakuan internasional menilai Indonesia pantas naik kelas.

Namun, apa yang telah disiapkan Pemerintah Indonesia karena pilihan jalan yang pertama itu tidak memiliki jaminan stabilitas bagi negara manapun?

Mitigasi krisis
Adalah Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo yang menegaskan telah menyiapkan segala paket fleksibilitas anggaran untuk memitigasi imbas krisis. Dia mengatakan pemerintah dan bank sentral juga sudah memiliki protokol krisis untuk mengamankan APBN agar imbas global tidak terlalu mengganggu postur anggaran dan asumsi dasar seperti kurs, harga minyak dan inflasi.

Selain itu, kerangka stabilisasi obligasi negara sudah ada di kantong untuk mengantisipasi terjadinya pelarian modal asing. “Paling tidak kita sudah punya policy untuk jaga-jaga kalau terjadi shock,” katanya.

Menkeu menegaskan perekonomian Indonesia pada tahun ini dan 2012 masih tergolong kuat karena didukung oleh stabilitas makro yang sehat. Namun dia mengakui pada tahun depan, ada risiko perlambatan akibat pengaruh krisis ekonomi global.

Menanggapi perbaikan peringkat kredit, Agus menyatakan pemerintah tidak mau gegabah menambah utang baru pada tahun depan. Peringkat investasi bukan berarti lampu hijau untuk jor-joran dalam berutang. Pemerintah baru akan menarik pendanaan dari pasar internasional melalui penerbitan obligasi di saat dan posisi harga yang tepat.

Slamet Sutomo, Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, menuturkan sumber dana investasi di Indonesia sepanjang 2010 sebenarnya cukup besar, namun masih berbentuk investasi portofolio.

Arus dana masuk pada tahun itu mencapai Rp5.407,8 triliun yang terdiri dari investasi portofolio Rp3.321,1 triliun dan investasi fisik Rp2.086,6 triliun. Artinya, sumber dana investasi di Indonesia cukup besar, namun masih berbentuk investasi portofolio.

“Kalau bisa diturunkan jadi investasi fisik yang punya multiplier effect yang lebih besar akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan upah gaji, surplus usaha, dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Slamet.

Bank sentral juga mengatakan perlambatan ekonomi global yang tak kunjung tuntas telah meningkatkan persepsi risiko global.

Ketidakpastian kondisi dunia saat ini membuat investor mencari aman dengan memburu obligasi berbentuk dollar AS. Hal itu memberi tekanan pada nilai tukar yang tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Azhar Lubis, Deputi Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM, yakin target investasi langsung 2012 senilai Rp283 triliun akan tercapai seiring investment grade. BKPM memprediksikan arus investasi langsung pada 2012 akan mengalir ke industri pengolahan produk tambang, pengolahan pertanian, infrastruktur, dan energi.

Bagaimanapun, risiko perlambatan pada 2012 baru sebatas perkiraan. Bisa saja salah atau sebaliknya, lebih parah dari itu. Krisis yang terjadi pada 1997 dan 2008 telah memberikan pelajaran bagaimana proyeksi tidak bisa dijadikan pegangan ataupun juga diabaikan begitu saja.

Pemerintah—dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter—harus memiliki segala persiapan dalam menghadapi gelombang besar yang diperkirakan lembaga ‘ahli badai’ akan tiba di bumi Nusantara. Ibarat sebuah kapal, segala perangkat untuk melindungi diri dari terpaan gelombang harus disiapkan mulai dari sekoci hingga jaket pelampung.

Faktor lain yang patut diwaspadai oleh pemerintah adalah kesiapan mental nakhoda dan para penumpangnya. Peristiwa 1997 memberi pelajaran bagaimana krisis multidimensi bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Tensi politik yang tidak kondusif dapat mencari bentuknya sendiri kapan saja sehingga memberi citra buruk kepada Indonesia.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengingatkan agar situasi politik selalu mendukung kinerja perekonomian. Dia berharap politisi tidak jangan hanya fokus pada urusan politik, tetapi perlu bersinergi dengan pemerintah dan dunia usaha dalam mengantisipasi berbagai risiko ekonomi yang menghantui dari luar.

“Saya paling takut dengan sistem politik dan keamanan saat ini. Pada situasi krisis [ekonomi] seperti sekarang, politisi tidak mau tahu dan saling menghujat dan masyarakat terhasut,” tuturnya.

Anjuran ini memang terkesan normatif tetapi dampaknya begitu besar terhadap stabilitas perekonomian. Bisa saja kemarau setahun langsung hilang oleh hujan sehari.

Jangan sampai predikat investment grade yang sejatinya pernah dipegang Indonesia 14 tahun silam hanya mampu bertahan selama 9 bulan sebelum Fitch menurunkan ranking utang hingga ke level B-, peringkat rawan default, pada awal 1998 karena arah kebijakan fiskal yang dianggap tidak jelas. (aprilian.hermawan@bisnis.co.id/redaksi@bisnis.co.id) (LN)

Sumber : Bisnis Indonesia, 31.01.12 (edisi kliping tgl 01/02 dan 02/02 absen, biz trip ke luar kota).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar